Dokumentasi saat sesi materi dalam Bootcamp Sarana AI X Lab KCKS Teknologi Informasi ITS, yang membahas penerapan teknologi kecerdasan buatan di berbagai sektor industri.
Surabaya, IT Journalistic — Revolusi teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) kini semakin menyentuh banyak sektor bisnis di Indonesia, dan dengan cepat mengubah cara kerja berbagai industri. Dalam sebuah wawancara mendalam pada kegiatan bootcamp kolaborasi Sarana AI X Lab KCKS (12/4/2024), dua praktisi AI, Mas Kevin dan Mas Aktsa, berbagi pandangan mereka tentang pengaruh besar AI terhadap dunia bisnis, serta peran generasi muda, khususnya mahasiswa, dalam menghadapi transformasi ini.
Menurut Mas Kevin, salah satu aspek paling krusial dari revolusi AI adalah kemampuannya dalam mengotomatisasi pekerjaan-pekerjaan repetitif yang dulunya memakan waktu berhari-hari. “Sekarang, pekerjaan yang dulu bisa memakan waktu 3-4 hari, bahkan seminggu, bisa selesai hanya dalam sehari berkat AI. Namun, ini juga memunculkan kekhawatiran di kalangan pekerja yang menjalankan tugas repetitif. Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreativitas,” ujar Mas Kevin. Mas Aktsa juga setuju bahwa AI mempercepat proses pengambilan keputusan dan eksperimen dalam bisnis. “Dalam dunia bisnis apapun, keputusan adalah unit paling mendasar, dan untuk membuat keputusan yang baik, kita membutuhkan data. AI membuat eksperimen dan iterasi untuk keputusan menjadi jauh lebih cepat,” jelas Mas Aktsa, yang menambahkan bahwa hal ini memungkinkan struktur organisasi yang lebih datar dan terkonsolidasi.
Tantangan utama yang dihadapi generasi muda, terutama mahasiswa, adalah kecenderungan untuk terlalu bergantung pada AI. Mas Kevin menjelaskan, “Banyak mahasiswa yang menganggap AI bisa menyelesaikan semua masalah mereka secara instan. Padahal, ini justru bisa menjadi bumerang, karena kita akan kehilangan kemampuan untuk berpikir dan memecahkan masalah secara mandiri. AI harus dilihat sebagai alat bantu, bukan pengganti pikiran kritis kita.” Mas Aktsa menambahkan bahwa adopsi AI di kalangan mahasiswa Indonesia masih sangat rendah. “Banyak yang merasa menggunakan AI itu curang atau tidak etis, padahal AI hanyalah alat yang bisa membantu kita. Seperti halnya dengan penggunaan Google Search dan Microsoft Excel yang dulu juga dipandang bisa menggantikan pekerjaan manusia,” katanya. Menurutnya, untuk memaksimalkan potensi AI, mahasiswa harus lebih sadar bahwa AI adalah alat yang sah digunakan, bukan sesuatu yang perlu ditakuti.
Mas Kevin memberikan pandangan tentang perbedaan budaya dalam penerapan AI di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. “Kesadaran untuk menciptakan teknologi seperti AI di Indonesia masih sangat kurang. Banyak sektor bisnis di Indonesia yang masih bergantung pada cara konvensional, baik dalam bisnis maupun teknologi. Ini menghambat adopsi AI secara keseluruhan,” jelasnya. Ia mengungkapkan bahwa meskipun ada sektor-sektor tertentu yang mulai mengadopsi AI, seperti pemasaran dan produktivitas, mayoritas perusahaan di Indonesia masih belum siap untuk beralih sepenuhnya ke teknologi ini karena kurangnya infrastruktur dan SDM yang memadai. Mas Aktsa menambahkan, “Bagi sebuah perusahaan untuk bisa memanfaatkan AI, hal pertama yang harus diperhatikan adalah apakah perusahaan tersebut sudah menjalankan digitalisasi dengan baik. Banyak perusahaan yang masih menggunakan metode konvensional, seperti Excel, dan belum terintegrasi dengan sistem digital. Ini adalah peluang untuk mengedukasi mereka bahwa AI bisa menjadi alat yang sangat berguna.”
Mas Kevin mengungkapkan bahwa sektor yang paling cepat beradaptasi dengan AI adalah sektor yang berfokus pada produktivitas dan pemasaran. “AI di 2023 sudah bisa menghasilkan gambar yang sulit dibedakan dengan hasil karya manusia. Selain itu, sektor militer juga sudah mulai mengadopsi AI untuk pasukan robot. Namun, sektor yang perlu perhatian lebih adalah sektor pendidikan, khususnya dalam mempertahankan kualitas pendidikan di tengah hadirnya AI yang mampu memberikan jawaban dengan akurasi tinggi,” jelasnya. Mas Aktsa menyoroti sektor-sektor yang harusnya lebih cepat beradaptasi dengan AI, seperti sektor publik, keuangan, dan kesehatan. “Industri kesehatan di Indonesia, misalnya, menghadapi kekurangan tenaga medis dan kapasitas rumah sakit yang terbatas. AI bisa meningkatkan efisiensi operasional sektor ini, memberikan akses lebih baik ke produk keuangan di sektor perbankan, serta membantu inklusi keuangan bagi mereka yang tidak memiliki catatan kredit,” tambahnya.
Meskipun AI menawarkan banyak keuntungan, tantangan dalam penerapannya tetap besar, terutama terkait dengan infrastruktur yang mahal dan isu kerahasiaan data. Mas Kevin menjelaskan, “AI membutuhkan infrastruktur yang kuat dan mahal, seperti server dengan GPU yang memiliki kapabilitas tinggi. Biaya yang harus dikeluarkan sangat besar, dan daya beli masyarakat Indonesia tidak seimbang dengan biaya tersebut.” Sementara itu, Mas Aktsa menambahkan bahwa perusahaan-perusahaan masih khawatir dengan masalah privasi data. “Banyak perusahaan yang menentang penggunaan cloud karena mereka khawatir data mereka akan dipegang oleh penyedia cloud seperti Google. Sektor-sektor kritis seperti perbankan dan kesehatan memiliki persyaratan privasi yang sangat kompleks,” katanya. Keduanya sepakat bahwa solusi dari tantangan ini adalah edukasi yang lebih mendalam tentang manfaat dan risiko AI, serta bagaimana mengatasi masalah-masalah terkait dengan infrastruktur dan privasi data.
Secara keseluruhan, meskipun Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mengadopsi AI secara menyeluruh, ada optimisme bahwa dengan edukasi dan peningkatan infrastruktur, AI dapat menjadi alat yang sangat berguna dalam memajukan berbagai sektor, dari kesehatan hingga keuangan. Generasi muda, terutama mahasiswa, diharapkan untuk lebih memahami dan memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk meningkatkan kreativitas dan efisiensi dalam dunia bisnis.
IT Journalistic
22 April 2025
Aswalia Novitriasari
Ir. Muchammad Husni, M.Kom, bersama dosen DTi dalam acara Farewell Party Surabaya, IT Journalistic — Salah satu sosok penting
Rektor ITS Prof Ir Bambang Pramujati ST MSc Eng PhD menegaskan bahwa kerja sama dengan NU Clark merupakan langkah
Foto bersama para wisudawan dan dosen Departemen Teknologi Informasi, mengabadikan momen penuh kebanggaan di akhir perjalanan studi yang penuh