News

Jika Rezeki di Tangan Tuhan, Haruskah Aku Berhenti Bekerja dan Beribadah Saja?

Sen, 27 Mei 2024
2:00 pm
Artikel
Share :
Oleh : adminmasjid   |

Dunia adalah sebuah dimensi yang menjadi tempat bagi manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh ciptaan Allah untuk menjalani kehidupan sebelum menuju keadaan lain di akhirat nanti. Kita semua hidup di dunia merupakan rezeki dan ketetapan yang telah diberikan oleh Allah. Di dalam menjalani kehidupan, terdapat dua hal yang saling berkaitan yaitu persoalan terkait fitrah kita sebagai Hamba Allah dengan persoalan kita sebagai Khalifah di Bumi. Seringkali kita dihadapkan dengan persoalan-persoalan sosial yang melibatkan kedua sisi tersebut yang salah satunya adalah rezeki. Rezeki menurut fitrah kita sebagai Hamba Allah merupakan sub-bagian dari hal-hal yang termasuk dengan takdir dengan arti bahwa rezeki telah ditetapkan dan diatur bagi semua makhluk di alam semesta tanpa terkecuali. Sedangkan rezeki menurut kita sebagai Khalifah di bumi merupakan sebuah hal yang dapat diraih dengan berusaha atau bekerja terlebih dahulu.

Terdapat sebuah pandangan bahwa kemajuan sebuah negara juga berkorelasi dengan usaha yang dilakukan masyarakat. Maka dari itu, dapat kita lihat bersama bahwa negara yang sekarang sedang dalam puncak kejayaannya adalah negara dengan mayoritas penduduknya adalah non-muslim. Sehingga timbul sebuah pertanyaan, mengapa mayoritas muslim banyak yang minim etos kerja? Pendapat tersebut kemudian ditekankan lagi bahwa etos kerja berasal pendidikan. Salah satu contohnya adalah negara Jepang yang dari kecil tidak ada jam kosong. Selain itu, etos kerja dipengaruhi budaya, tapi itu juga kembali dari hal pendidikannya. Kemudian saat kita melihat peran Islam sebenarnya dalam hal pendidikannya sudah bagus, ada ta’lim muta’alim, tapi budaya etos kerja masih belum terbentuk dengan baik. Pendapat tentang budaya bisa jadi salah satu faktor negara untuk maju dapat diterima dan disetujui.

Pada zaman sekarang, umat muslim kurang memahami arti dari takdir sehingga timbul pernyataan seperti “rezeki sudah ada yang ngatur”, Padahal arti takdir itu kita harus berusaha dahulu, baru Allah itu menetapkan. Kejadian salah tafsir seperti itu bisa membuat orang muslim kurang giat atau malas untuk berusaha.

Memang juga ada beberapa contoh negara islam yang sudah berada di kategori maju seperti turki dan saudi arabia, namun hal tersebut masih di bawah masa kejayaan islam dulu dan juga di bawah kejayaan kaum non-muslim sekarang. Ada anggapan yang mengatakan bahwa itu roda kehidupan tetapi tanpa dasar yang pasti. Pendapat lain juga mengatakan bahwa sejak zaman kejayaannya dahulu umat muslim sudah mengalami penurunan yang pasti.

Jika kita melihat dasar rujukan dari etos kerja itu sendiri terdapat pada sebuah hadist dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berbunyi sebagai berikut:

اِعْمَلْ لدُنْيِاكَ كأَنَّكَ تَعِيشُ أَبَداً واعْمَلْ لآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تموتُ غَداً

“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan hidup selamanya dan beramalah untuk akhiratmu seakan-akan mati esok pagi”

Dan juga pada hikmah kedua dari Al-Hikam yaitu:

إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِيْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.

وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

“Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi.”

Yang intinya adalah antara kehidupan di dunia sebagai Hamba Allah dan Khalifah seharusnya kita lakukan dengan sebaik-baiknya, dan Allah telah menentukan kapan seseorang harus menjadi asbab (sebab-akibat) dan kapan kamu harus tajrid.

Tetapi pertanyaan pun kembali muncul, sebenarnya bagaimana penerapan yang benar dari pandangan rezeki sudah ada yang ngatur? Dari sudut pandang seorang muslim yang taat dan sedang ingin mencari rezeki, harus melalui jalur usaha atau ikhtiar, dan ketika mereka yang mencari rezeki maka akan mencari rezeki dengan halal yang absolut, dan ketika mendapatkannya maka mereka akan bersyukur dan menganggap bahwa rezeki itu adalah pemberian Allah, dan mereka tidak akan berkecil hati tentang rezeki yang didapatkan.

Rezeki yang Allah berikan bisa saja karena usaha ataupun tidak itu kehendak Allah, namun yang bisa dipahami bahwa pada setiap kejadian kita sebagai asbab pastilah mempunyai sebab dan akibat. Begitu pula dengan rezeki yang kita dapatkan pasti pun dapat ditarik secara rasional bahwa rezeki adalah akibat dari sebab kita berusaha, usaha dalam bekerja ataupun dengan berdoa.

Ketika kita salah dalam menanggapi pandangan rezeki sudah ada yang ngatur, bisa saja kita menjadi manusia yang tidak menjalani hidup dengan semangat, sehingga kita cenderung untuk menutup pandangan kita terhadap dunia yang malah melanggar sebab kita sebagai Khalifah.

Dari dua pertanyaan diatas, kita akhirnya dihadapkan dengan pertanyaan apa yang membuat negara maju ? Agama atau teknologi yang sekuler ?

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق

“Aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak.” (H.R. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad: 247, dan lainnya).

Pandangan tersebut menegaskan bahwa kemajuan sebuah negara itu bukan hal mutlak, yang artinya banyak hal yang bisa kita lihat dari kemajuan sebuah negara. Misalnya negara Indonesia terdapat kekurangan atau ketertinggalan pada teknologi dan industrinya. Tetapi ketika kita melihat sikap, sifat, akhlak dan budaya orang indonesia yang sangat toleransi dan diakui oleh dunia, maka bisa dikatakan bahwa negara Indonesia mempunyai keunggulan atau kemajuan dalam kehidupan sosialnya.

Memang sekarang terdapat negara yang sangat berkuasa dalam dunia ini yang mengatur perkembangan teknologi dan globalisasi, namun belum tentu mereka mempunyai kehidupan sosial yang baik.

Tetapi sejatinya akhlak yang baik akan memberikan dampak positif bagi negara jika kita berkaca pada masa kejayaan Islam dahulu. Mengutip Gus Dhofir, ada Buku judulnyaلماذا تاخر المسلمون وتقدم القوم الاخر “Mengapa umat muslim terbelakang sedangkan umat yang lain maju?” dengan kesimpulan isinya :

لان اعمالنا اعملهم واعمالهم اعمالنا

“Karena kebiasaan kita yang dulu menjadi kebiasaan mereka sekarang dan kebiasaan mereka dahulu menjadi kebiasaan kita sekarang”

Pandangan tersebut bisa saja masuk akal karena pada zaman dahulu setelah kejayaan Islam banyak sekali Kemajuan yang diperoleh dunia Barat pada saat ini tidak terlepas dari mata rantai kemajuan dan peradaban umat manusia sebelumnya.Sebelum Barat mencapai kemajuan, dunia Islam pernah mengalami hegemoni peradaban yang tinggi. Oleh karena itu sejatinya terdapat kontribusi Islam terhadap Barat. Ketika Barat masih dikuasai oleh doktrin gereja yang cenderung menolak kajian ilmu pengetahuan dan para ilmuwan dianggap kafir, zindik, serta keluar dari agama Masehi sehingga mereka disiksa dan dihukum, maka Barat mengalami masa kegelapan (the dark ages). Sementara itu, dunia Islam sibuk melakukan pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat sehingga melahirkan peradaban yang bernilai tinggi.

Tentu menjadi tugas kita semua saat ini sebagai umat muslim untuk selalu mempunyai etos kerja yang tinggi dan berkembang sesuai dengan bidang yang menjadi minat kita tanpa meninggalkan keimanan dan sisi fitrah kita sebagai seorang hamba.

Latest News

  • Dzikir Pagi & Sore (14) : “Meraih Derajat Syuhada’ ”

    Riwayat Hadis & Terjemah الأذكار النووية – (1 / 82)227 – وروينا في كتابي الترمذي وابن السني بإسناد فيه

    16 Jul 2024
  • Belajar Dari Ummu Aiman rodhiyallohu ‘anha

    – وعن أنس – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ أَبُو بكر لِعُمَرَ رضي الله عنهما بَعْدَ

    11 Jul 2024
  • Dzikir Pagi & Sore (13) : “Solah, Najah & Falah”

    Dzikir Pagi & Sore (13) : “Solah,Najah & Falah”  Riwayat Hadis & Terjemah الأذكار النووية – (1 / 82)226

    09 Jul 2024