Kisruh antara kabulog dengan menperindag sebulan yang lalu tentang perlu tidaknya import beras mengindikasikan adanya kesalahan data.
Secara perhitungan lapangan (ibarat metode fisik dlm akuntansi persediaan), bulog sebagai BUMN yang berpengalaman sejak lama menyimpan hasil panen menyatakan bahwa import tidak perlu karena gudang bulog didesain sesuai kebutuhan dan kemampuan suplai perberasan nasional. Kalau gudang bulog sudah penuh, berarti hal tersebut mengindikasikan bahwa suplai beras memang sudah optimal dan memenuhi kebutuhan nasional selama beberapa jangka waktu kedepan.
Kementrian perdagangan dengan menggunakan data suplai demand yang ada (ibarat metode perpetual dalam akuntansi persediaan) memutuskan perlunya import beras karena diprediksi beberapa bulan kedepan akan terjadi defisit suplai, sehingga perlu diantisipasi gapnya dengan import.
Mana dari keduanya yang benar? Kita tidak sedang mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kedua pihak seharusnya menjadi tim solid untuk saling memvalidasi data.
Dengan kata lain, bila beras dinyatakan defisit oleh kemendag, maka daya serap gudang bulog akan memvalidasi kondisi defisit tersebut dengan sedikit melompongnya gudang-gudang persediaan beras di bulog.
Begitu pentingnya sinkronisasi data, sehingga akan berakibat pada keputusan yang berbeda. Moratorium data pangan, khususnya dimulai dari beras sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2015, dengan tim beranggotakan BPPT, BIG, LAPAN, dan KEMENTAN, dibawah komando BPS.
Hasilnya menunjukkan bahwa data terkoreksi lebih rendah. Sebagai contoh: Potensi luas panen menurut proyeksi KEMENTAN adalah 15,9 juta hektar, sementara kondisi riil setelah perhitungan moratorium adalah 10,9 juta hektar. Demikian juga kapasitas produksi lahan tersebut akan menghasilkan potensi 47,6 juta ton beras, sementara kondisi riil setelah moratorium adalah hanya 32,42 juta ton beras (terjadi selisih 31,8%)
Bayangkan perbedaan data diatas, antara kondisi lapangan (riil) dengan kondisi potensi diatas kertas yang dicatat dan diprediksi survey sebelumnya.
Kita jadi semakin paham bahwa perbedaan DATA yang sangat ekstrim gapnya akan menghasilkan informasi yang salah. Dan INFORMASI yang salah akan menghasilkan KNOWLEDGE dan KEPUTUSAN yang salah.
Penjelasan diatas semakin menyadarkan kita bahwa begitu pentingnya VALIDITAS bahan mentah berupa data, yang akan diolah menjadi informasi dst, sehingga keberanian pemerintah melalui wapres JK mengakui ada kesalahan data, dan bertekad melakukan pembenahan kedepan mulai 22 Oktober 2018 sebagai moratorium lanjutan perlu diapresiasi tinggi Kenapa demikian? Data memang harus dikoreksi, dan divaliditas perubahannya dengan cara yang benar (INGAT: dengan cara yang benar, bukan dengan metode abal-abal). Koreksi data akan berhubungan erat dengan keputusan-keputusan penting lainnya terkait anggaran di APBN, misal: dalam kasus data pangan akan berhubungan erat dengan alokasi subsidi pupuk dan benih yang harusnya menurun apabila kenyataannya potensi lahan semakin sempit. Padahal dari tahun 2014 hingga 2017 kemarin, alokasi subsidi pupuk cenderung naik atau stagnan.
Validasi data ini sebenarnya sudah dinisiasi oleh Kantor Staf Predisen (KSP) dalam bentuk ONE DATA, sehingga jargon kebangsaan kita adalah tidak sekedar sebagaimana SUMPAH PEMUDA yang hanya mengkover SATU NUSA, SATU BANGSA, dan SATU BAHASA, tetapi juga SATU DATA.
ONE DATA yang dinisiasi KSP adalah langkah masa depan bangsa Indonesia untuk berani menghasilkan keputusan-keputusan yang compliant dan kredibel. Dan ini harus dimulai dari lembaga Kepresidenan.
Bayangkan seandainya data yang dibaca Presiden salah, maka keputusan Presiden beserta turunan teknisnya hingga level departemen dan pemerintahan tingkat provinsi/kabupaten/kota akan juga salah.
Dan ingat, era global sekarang adalah eranya BIG DATA, yaitu maha data yang harus mampu menjadi basis bagi pengolahan data menjadi informasi secara valid dan terintegrasi, agar bisa disharing untuk kepentingan bersama diantara stakeholder.
BIG DATA hanya akan bermanfaat apabila data tersebut mampu dianalisis, sehingga muncullah istilah popular lainnya berupa konsep DATA ANALITIKAL. Dan data analitik memerlukan kecanggihan desain dari sistem thinkernya, sehingga data akan merepresentasikan sesuatu yang semakin valuable, termasuk dari sisi WISDOM yang diperoleh pembuat keputusan, maupun kemungkinan data tersebut akan menunjukkan intreprestasi lainnya diluar tujuan yang didesain (DATA MINING).
Mari cermat mengumpulkan data, menggunakan data, dan BERBICARA HANYA BERDASARKAN DATA, bukan sekedar membuat keputusan hanya berdasarkan insting semata.
Sudah saatnya pengumpulan data didesain untuk tujuan kemanfaatan bersama, bukan untuk kepentingan ego sektoral. SATU NUSA, SATU BANGSA, SATU BAHASA, dan SATU DATA bisa jadi menjadi SUMPAH PEMUDA di era Milennial Global.
SALAM PERSATUAN
Dr.Ir. Arman Hakim Nasution, M.Eng MANAJEMEN BISNIS ITS WA: 081331468839
Kisruh antara kabulog dengan menperindag sebulan yang lalu tentang perlu tidaknya import beras mengindikasikan adanya kesalahan data. Secara perhitungan