Siapa nyana, gelaran rutin upacara wisuda ITS ke-90 yang bakal berlangsung selama dua hari, 12-13 Maret 2005 mendatang diwarnai sejumlah polemik krusial. Ratusan mahasiswa tingkat akhir dari berbagai jurusan dihadang kenyataan terancam batal memakai toga tanda kelulusan.
Usut punya usut dari UPT Bahasa berhembus kabar kurang sedap mengenai nilai para calon wisudawan yang kurang mumpuni di bidang bahasa Inggris, yang konon didengung-dengungkan sebagai tiket menuju kancah persaingan global. Rata-rata skor TOEFL mereka bikin muka para petinggi rektorat ITS merah padam tak karuan. Bayangkan saja, konversi skor TOEFL mereka dibawah standar kelulusan yang umum berlaku di jagad ITS tercinta ini.
Tak ayal kecaman dengan aroma rasa pedas melayang dari bibir orang-orang yang merasa dirugikan. Sejumlah argumen pembelaan diri pun meluncur deras, tak kalah sengitnya, UPT Bahasa sempat jadi bahan pelampiasan dari ketidakpuasan sejumlah kalangan. Semuanya mengaku dirugikan, ada pula yang berkoar jadi korban kebijakan dengan sosialisasi berantakan.
Padahal salah siapa coba, malas membaca pengumuman yang tertempel di papan pengumuman tiap-tiap jurusan. Di papan yang kerap kali cuma jadi tempelan dinding kampus itu, justru tersimpan banyak informasi yang mampu mendukung kelancaran akademis mahasiswa. Salah satunya ya mengenai kewajiban calon wisudawan untuk memenuhi standar kelulusan minimal dalam berbahasa Inggris. Belum lagi pelatihan ini itu yang kelak berguna saat tiba masanya terjun di dunia kerja.
Sungguh sangat disayangkan di sebuah perguruan tinggi yang cukup terpandang di republik ini, kesadaran mempelajari bahasa global masih menjadi hambatan bagi kemajuan belajar bagi kalangan yang bersangkutan. Lalu pertanyaannya sekarang, bagaimana mungkin bangsa ini mampu menyejajarkan diri dengan mereka yang lebih dulu unggul dalam bidang teknologi, jika kemampuan mengalihbahasakan (memahami) buku-buku kuliah berbahasa Inggris saja mereka sudah keringatan?
Boleh saja para muda di negeri ini punya cita-cita mulia untuk meningkatkan martabat bangsa. Atau setidaknya memiliki masa depan pribadi yang cerah dengan tingkat kesejahteraan yang layak. Tak lagi bergantung pada uluran tangan-tangan orang lain. Namun sudah sadarkah kita, sesuatu yang mulia itu bisa dibangun dari sesuatu yang bersifat dasar? Membangun pondasi yang baik dengan meningkatkan kapabilitas personal, menjadi pribadi tangguh bagi bangsa yang sedang banyak membangun.
Ada baiknya kejadian kali ini menjadi ajang untuk lebih memeriksa diri tak hanya sekedar menyalahkan pihak lain, namun lebih bersikap bijak dengan memperbaiki kekurangan yang ada pada diri sendiri. Dengan jiwa besar, sudahkah kita akui kekurangan diri?
Maria Elgia Kurniati
Jurnalis ITS Online
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang