ITS News

Jumat, 15 November 2024
15 Maret 2005, 12:03

Dalam kasus sama, Italia dan Indonesia sangat berbeda

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Beda Italia beda pula Indonesia. Indonesia berada dalam sudut Asia Tenggara, sedangkan Italia berada di sudut Eropa paling selatan. Tidak banyak kesamaan yang didapatkan dari kedua negara tersebut, kecuali tentunya liga Italia menjadi gandrungan pemirsa Indonesia setiap akhir minggunya.

Indonesia saat ini hangat akan pembicaraan menyoal STPDN. Sekolah yang digadang-gadang sebagai sekolah para calon pemimpin ini ternyata menyimpan kebobrokan yang terstruktur. Kebobrokan yang paling utama ialah membudayanya kekerasan. Pemukulan yang dilakukan secara bebas oleh senior pada juniornya menjadi hal yang lumrah di STPDN.

Kekerasan jelas memakan korban. Wahyu Hidayat tewas awal September ini sebagai akibat pemukulan para seniornya dalam prilaku pembinaan. Wahyu Hidayat jelas bukan satu-satunya mahasiswa yang tewas dengan cara seperti itu. Eri Rahman pada tahun 2000 meninggal dengan cara yang sama. Ini belum terhitung dengan korban yang masuk rumah sakit atau pun cacat fisik maupun mental akibat kultur kekerasan yang dijalankan sejak lama di STPDN.

Serupa dengan Indonesia, Italia saat ini heboh akibat kerusuhan suporter sepakbola. Kemarin (21/09) Sergio Eccolano (20) tewas akibat kerusuhan penonton saat pertandingan Seri B antara Avellino melawan Napoli. Sebuah pertandingan yang tergolong kelas dua (Seri B) di negeri pizza ini.

Beda Indonesia beda pula Italia dalam bereaksi atas kematian. Giuseppe Pisanu sebagai menteri dalam negeri Italia langsung bereaksi keras atas insiden kemarin. Dia dengan tegas menyatakan siap membubarkan liga Italia. Termasuk seri A,B, C1, dan C2. Sebuah langkah keras namun sangat antisipatif demi menghindari tragedi serupa terjadi. Padahal, dari penyelenggaraan liga Italia setidaknya hidup dua juta jiwa warga Italia bergantung di sana.

Beda jauh dengan sikap Hari Sabarno, menteri dalam negeri Indonesia. Dia dengan sikap santai berusaha menenangkan masyarakat bahwa insiden serupa tidak bakal terjadi. Reaksi masyarakat Indonesia yang sangat gusar melihat mendarahdagingnya kultur kekerasan di STPDN sepertinya dilihat sebelah mata. Ia tidak mengeluarkan tindakan apapun demi menenangkan masyarakat. Alih-alih membekukan STPDN, mencopot ketua STPDN, Sutrisno pun, Hari Sabarno meminta waktu banyak untuk mempertimbangkannya.

Sikap dua mendagri di atas, sedikit banyak merupakan gambaran bagaimana pejabat Barat dan Indonesia bereaksi terhadap suatu kondisi kritis. Pejabat di barat pada umumnya langsung malu dan memilih mundur ketika dia merasa dirinya bersalah dalam satu institusi. Jangan heran jika kita sering mendengar pejabat Jepang mundur ketika diterpa isu skandal. Pejabat Indonesia masih saja bersikap santai dan berkoar tidak bersalah walau pengadilan sudah memutuskan bersalah.

Pejabat di Indonesia pada umumnya menganggap tragedi yang terjadi adalah kesalahan anak buah atau pun bawahan. Kalau ada kesalahan terjadi, maka dia langsung berkelit, dan mencari kambing hitam yang pasti adalah bawahannya. Presiden boleh berganti empat kali, namun belum ada satu pun pemimpin yang mampu mengubah kultur demikian. Walaupun sebelum menjabat orang itu sangat kritis, namun jika sudah naik, dilupakanlah janji-janji yang terlontarnya. Semoga kita terlindingi dari sifat seperti itu.

Penulis:
Ariyo Wibowo
Mahasiswa Teknik Industri '2000

Berita Terkait