Dunia pendidikan kita penuh paradoks. Contoh mencolok adalah ditetapkannya program Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun tetapi biaya pendidikan ditanggung peserta didik.
Bahkan, fakta lapangan memperlihatkan lembaga pendidikan sedang berlomba menjadi sekolah mahal. Setelah melakukan ulasan atas fenomena pendidikan tersebut, Bpk Supriyono dosen FIP dan Pascasarjana UM mengusulkan agar sekolah unggulan yang mahal-mahal itu dihapus (Surya, 1/5/2003).
Konsekuensi dari program Wajar adalah bebas biaya. Bila tidak, Wajar menjadi tak ada artinya. Alasannya sederhana, kewajiban harus diikuti sanksi. Nah, bagaimana mungkin memberi sanksi pelanggar Wajar bila sekadar menyekolahkan anak-anaknya saja memang tidak mampu. Jumlah penduduk miskin bertambah secara signifikan sejak krismon, sebagai contoh Jatim mencapai angka 30 persen. Tulisan ini bermaksud menguatkan ide penghapusan sekolah mahal di atas.
Pendidikan ala pasar
Andai dunia pendidikan dapat diibaratkan sebagai wajah, maka make-up wajah pendidikan kita senantiasa berubah dari waktu ke waktu bergantung periasnya yakni Mendiknas. Periode sekarang merek make-up tersebut adalah KBK atau kurikulum berbasis kompetensi. Sebagaimana make-up yang sebenarnya, make-up pendidikan bisa dan boleh senantiasa berubah tetapi wajah pendidikan selalu tetap kecuali dilakukan operasi plastik. Wajah pendidikan kita adalah pasar.
Di antara sekian praktik yang menyebabkan pendidikan menjadi mahal ada satu yang cukup unik. Setiap awal tahun ajaran baru tim pemasaran dari penerbit buku masuk ke sekolah. Hasilnya, buku terbitannya menjadi pegangan tahun itu dan seyogianya dibeli. Uniknya, setiap tahun tim penerbit buku yang datang selalu berganti. Akibatnya buku pegangan pun senantiasa berganti sehingga seorang kakak tidak bisa mewariskan buku tersebut kepada adiknya. Seorang siswa yang tidak naik kelas pun tidak dapat menggunakan buku pegangan tersebut dua kali dan terpaksa harus membeli buku pegangan baru.
Praktik yang makin menyempurnakan wajah serta citra pasar lembaga pendidikan. Pada gilirannya meneguhkan tudingan bahwa sekolah adalah instrumen kapitalisme. Tak pelak juga Indonesia dengan ideologi Pancasila yang memang masih terbuka dengan berbagai muatan atau tafsiran ini.
Kesenjangan dini
Ada kenyataan yang harus kita akui bahwa para pendidik senior kita umumnya mengenyam pendidikan barat. Akibatnya aroma Barat dari pendidikan pun sulit dihindari. Hal ini bisa dilihat dari kandungan materi pendidikan yang sangat menekankan pengasahan akal (Intelligence Quotient, IQ). Padahal, tahun 2000 lalu menteri pendidikan AS mencak-mencak lantaran pendidikan bagi anak sampai usia 15 tahun AS kalah dari Jepang dan China dalam keterpaduan aspek IQ dan EQ (Emotional Quotient). Sebagai bahan perbandingan ada baiknya menambah acuan, untuk itu kita lihat sekolah di Jepang.
Jepang tergolong sebagai negara maju tetapi mampu bertahan dengan tradisi serta adat-istiadat ketimuran yang kental unsur mistisnya. Ada hal menarik tentang pendidikan di sana, yakni muatan character building pendidikan mereka sejak sekolah dasar (shougakkou) sampai dengan SMU (kotougakkou). Seperti dapat dilihat di film-film layar kaca, siswa-siswi SD negeri Sakura pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Sekitar pk 07.15 setiap kelompok yang terdiri dari lima atau enam siswa berangkat menuju sekolah. Pukul tiga atau empat sore mereka pulang dalam kelompok-kelompok dan setiap kelompok dipimpin seorang ketua.
Berjalan kaki dan pergi-pulang berkelompok sifatnya wajib bagi para siswa SD, tanpa pandang bulu. SD di sana menerapkan sistem rayon, anak-anak bersekolah di SD terdekat di masing-masing wilayahnya. Para orangtua tidak perlu memilihkan sekolah untuk anaknya karena pemerintah daerah setempat telah menetapkannya. Mereka tinggal mendaftar ulang. Jepang juga menerapkan Wajar karena itu pemerintah akan mendatangi orangtua termasuk orang asing yang tidak menyekolahkan anaknya yang sudah usia sekolah.
Ada tiga hal yang terkandung dari kewajiban di atas. Semangat juang, kebersamaan, dan tanggung jawab yang ditanamkan dan dipraktikkan secara langsung. Bandingkan dengan tata-cara dan kebiasaan siswa-siswi SD di negeri kita. Siswa dapat pergi dan pulang secara bebas dalam arti boleh sendiri, bersama teman, atau diantar pembantu. Mereka pun boleh berjalan kaki, naik kendaraan umum, atau naik mobil orangtuanya. Tidak ada pendidikan etos kerja dan kebersamaan.
Makna lain yang tidak kalah seriusnya dari kebebasan di atas, SD kita diam-diam menciptakan kesenjangan sejak dini. Anak orang kaya terus menerus ditempatkan dalam suasana kemewahan. Sementara anak orang miskin dibiarkan dalam kekurangannya sambil nonton penampilan temannya yang anak orang kaya. Negara diam-diam mendukung perbedaan kelas. (bersambung)
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan