ITS News

Jumat, 27 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Komersialisasi Pendidikan Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dunia pendidikan layak menjadi kontroversi antara dua sistem kelas masyarakat, atau biasa disebut orang kaya dan orang miskin. Dan yang sering menjadi sorotan pada figur pendidikan itu sendiri adalah masalah biaya. Anggapan orang miskin, tingginya biaya pendidikan sekarang, cukup mencekik leher mereka. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, hanya sedikit sekali yang membantu. Padahal, di negara ini telah ditetapkan adanya program wajib belajar pendidikan dasar. Lalu bagaimana nasib orang-orang yang belum bisa memenuhi program pemerintah itu?

Fenomena tersebut terus menghantui golongan masyarakat awam hingga detik ini. Solusi apa yang dimiliki pemerintah selaku penentu kebijakan-kebijakan, khususnya bidang pendidikan, untuk segera mengentas kemiskinan di tanah air tercinta ini? Melalui bedah buku "Orang Miskin Dilarang Sekolah" hari ini (19/10), BEM ITS ingin menguak fenomena yang tengah terjadi di lingkungan masyarakat tersebut sekaligus menghubungkannya dengan keputusan ITS menuju PT BHMN ini.

Dalam acara itu, BEM sengaja mendatangkan dua tokoh penting berkenaan dengan tema diatas. Dialah Eko Prasetyo, penulis buku "Orang Miskin Dilarang Sekolah" dan Dr. Daniel M Rosyid, Dewan Pendidikan Jatim. Tema bedah buku yang cukup menarik itu berhasil mengundang antusiasme mahasiswa se-ITS dan beberapa orang dari luar ITS untuk serius menyimaknya.

Kecenderungan komersialisasi sistem pendidikan di Indonesia, menurut Eko, tidak dapat dipungkiri lagi. Di negara yang miskin ini, sangat ajaib bila kita menemukan orang kaya menemui kebodohan sedangkan orang miskin menuju kemakmuran. Gencarnya persaingan tiap sekolah mempromosikan keunggulan, baik itu mutu maupun fasilitasnya, menjadi ajang bisnis bagi para pelakunya. Sekolah pun berada dalam kekuasaan modal. "Yang menarik lagi, beberapa sekolah memamerkan aktivitas yang menghadirkan para pejabat negara dan memajang foto mereka pada brosur. Tujuannya hanya ingin menunjukkan ‘kedekatan’ sekolah itu dengan para elite politik," jelas Eko.

Dijelaskannya pula bahwa komersialisasi pendidikan juga mempuyai efek. Jika komersialisasi menyentuh pendidikan rendah, akan terjadi hubungan spiral ke pendidikan atasnya. Gambaran yang paling mudah untuk menjelaskannya yaitu jika awalnya masuk TK tidak bermutu, maka selanjutnya akan menjalani pendidikan SD hingga Perguruan Tinggi yang serupa dengan awalnya. Lebih dari itu, menurut anggota Pusham UII Yogyakarta ini, ketika kita keluar dari kampus, harus berhadapan langsung dengan kenyataan pahit seperti berkeliarannya pemulung, anak-anak dibawah usia produktif dipaksa ngamen di perempatan lampu lalu lintas. Itu semua hanya demi mempertahankan hidup. Mereka tidak punya waktu apalagi uang untuk mengurusi pendidikannya sendiri.

"Satu fakta yang saya temui di negara Amerika sekarang. Orang sana sudah mulai menciptakan suatu lapangan kerja baru dalam bidang perlobian. Orang yang suka melobi, tidak perlu punya ijasah tinggi. Cukup dengan menguasai keterampilan itu, mereka bisa membuka akses yang luas," paparnya. Dan karena hal yang baru itulah, sebuah mobilitas kelas terbentuk. (d1ti/Lin)

Berita Terkait