Enceng gondok. Tak asing lagi bagi kita. Tidak susah bagi masyarakat di sekitar kampus untuk mendapatkkannya. Di setiap aliran sungai banyak terdapat tumbuhan yang masih saja dipandang sebelah mata ini. Banyak masyarakat sekitar yang tidak memanfaatkannya. Pihak kampus pun rupanya tidak mau memanfaatkan tumbuhan yang satu ini, menyewa orang untuk membersihkannya kemudian dibuang begitu saja. "Padahal, jika kita tahu bagaimana memanfaatkannya, bukan tidak mungkin bisa membuka lapangan pekerjaan yang lebih prospektif lagi," ujar Gunawan, mahasiswa D3 Teknik Kimia. "Sayang kan kalau dibuang begitu saja," tambahnya.
Rupanya hal inilah yang mendorong salah satu Unit Kegiatan Kemahasiswaan, 'Workshop Enterprenuirship & Technology (WE&T)', mengadakan pelatihan tentang pemanfaatan enceng gondok. Masih dalam senangat Dies Natalis, pelatihan ini tidak sepi peminat, tak hanya dari ITS, mahasiswa dari kampus tetangga dan ibu-ibu Dharma Wanita terlihat mengikuti jalannya pelatihan. Memang kaum hawa tampak mendominasi peserta pelatihan ini. "Asik aja ikut pelatihan ini, siapa tahu setelah lulus bisa bikin home industri berbasis enceng gondok," ucap Nuhe, salah satu peserta dari Unair.
Sayangnya sasaran peserta dari pelatihan ini tidak tampak hadir, padahal mereka inilah yang diharapkan untuk benar-benar dapat memanfaatkan enceng gondok. "Sebenarnya, target peserta ini adalah masyarakat keputih dan gebang, tapi mereka rupanya kurang tertarik dengan pelatihan ini. Harapan kami, mereka mampu memanfaatkan enceng gondok yang memang mudah sekali mendapatkan di lingkungannya." Terang Agung Paty Lupinto, ketua panitia pelaksana.
Sebagai instruktur, Julita Joylita, cukup antusias memberikan materi. "Enceng gondok yang baru diambil dari lahannya, kemudian dikeringkan selama kurang lebih sepuluh hari. Setelah itu kita berikan treatment khusus dan mulai kita anyam." jelasnya. Wanita yang pernah mendapatkan "Clean Up The World Award" dari PBB ini memeriksa satu-satu peserta yang telah dibagi perkelompok ini. "Untuk hari pertama ini kita akan berikan dasarnya dahulu, yaitu menganyam, setelah itu peserta bisa mengembangkannya menjadi kotak pensil, misalnya," terang Ibu yang masih tampak segar ini.
Memang, pelatihan ini dijadwalkan selama dua hari. "Dengan mengeluarkan biaya Rp. 10.000 saja peserta bisa mendapatkan keterampilan dasar yaitu membuat kotak pensil di hari pertama dan mendaur ulang kertas bekas dihari kedua," ucap Agung. Dari pelatihan ini Agung mengharapkan peran birokrat kampus bisa berperan untuk lebih memanfaatkan enceng gondok ini. "Dari pada dibuang, kan sayang," ucapnya.
Enceng gondok saat ini mulai menjadi komoditi yang menarik. Selain pengusahaannya yang mudah, usaha ini juga sangat prospektif. Bagaimana tidak, dalam sebulan omzetnya bisa puluhan juta rupiah.
"Dengan dua ratus karyawan kami menghasilkan kira-kira lima puluh juta per bulan," terang Julita Joylita. Menurut pengusaha enceng gondok ini, kemauan dan kerja keras lah yang bisa membuat usahanya menjadi berkembang. Kalau dulunya hanya mampu bekerja di garasi saat ini Julita mampu mempekerjakan dua ratus karyawan. "Kebanyakan dari mereka ibu rumah tangga," tambah ibu berlatar pendidikan SMA ini.(lut/ryo/bch)
Kampus ITS, ITS News — Beberapa tradisi budaya masyarakat Indonesia bisa terancam punah akibat adanya beban pembiayaan kegiatan yang lebih
Kampus ITS, ITS News — Tak henti-hentinya, tim riset Nogogeni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali mencetak prestasi dalam ajang
Kampus ITS, ITS News — Menjawab tantangan perkembangan teknologi komunikasi masa kini, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menghadirkan Program Studi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) tak henti-hentinya melahirkan inovasi baru guna mendukung ekosistem halal di