ITS News

Jumat, 27 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Menata Kembali Aceh Pasca Tsunami

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dalam diskusi singkat yang dilaksanakan di Gedung Rektorat, Senin (24/1) itu, hadir narasumber utama Prof Dr Widi Agus Pratikto selaku Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Perikanan dan Kelautan (DPK). Pejabat pemerintah ini memaparkan pemikirannya selama 30 menit di hadapan para akademisi.

Menurutnya, sistem peringatan dini yang hendak dibangun terlalu mahal bagi kas pemerintah karena menghabiskan dana pembangunan sekitar 30 juta USD. Dana sebesar itu belum termasuk biaya pemeliharaannya. Padahal, alat tersebut cuma berfungsi efektif dalam waktu singkat sebelum menerjang wilayah pesisir terdekat.

Widi pun kemudian mencontohkan kawasan pantai Simeulue, pulau terdekat dari episentrum gempa. Di pulau itu, tsunami merenggut korban jiwa sejumlah 10 orang, dengan kerusakan yang relatif kecil dibandingkan wilayah Aceh Utara dan pulau-pulau sekitarnya.

"Pulau itu relatif tak terjamah kerusakan tsunami, karena adanya perlindungan green belt," tutur pria yang siang itu berkemeja putih. "Sistem perlindungan alami yang dibentengi hutan mangrove akan mampu meredam sebagian energi gelombang tsunami. Jadi ekosistem-lah yang berjasa besar dalam menyelamatkan masyarakat Pulau Simeulue," simpul Widi. Lingkungan yang terawat dengan baik, menurutnya, akan berbalik memberikan perlindungan terbaik di kala keganasan alam mengancam.

Birokrat yang juga pengajar di Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS ini kemudian menerangkan analisisnya terhadap kasus tsunami di Aceh. Menurut Widi, gelombang tsunami akan semakin jauh masuk ke daratan jika kondisi pesisirnya miskin mangrove. Sebaliknya, pada wilayah pesisir dengan mangrove intensif, kebun ekstensif dan massa bangunan bertingkat yang memenuhi persyaratan teknis bencana, gelombang tsunami akan semakin pendek ke daratan. Pada ketebalan mangrove 1200 meter dari pantai dapat mengurangi ketebalan gelombang tsunami sekitar 2 kilometer.

Sementara perlindungan pantai berbasis struktur, seperti alat pemecah ombak belum terlalu efektif dalam mengatasi problem yang menimpa kawasan pesisir. "Masalah yang menimpa kawasan itu tidak hanya terbatas pada ancaman gelombang tsunami semata, tapi juga pasang naik dan banjir yang kerap kali mengakibatkan kerugian pada masyarakat setempat," terang Widi. Ia kemudian menambahkan, penanggulangan yang tepat memiliki relasi erat dengan kapasitas dan kearifan lokal, yang mengadopsi secara cermat pendekatan sosiokultur.

Karenanya, ia menghimbau kalangan akademisi untuk turut berperan serta dalam memberikan pendampingan pada korban bencana mengenai public awareness (kepedulian masyarakat) terhadap lingkungan lestari. Lebih lanjut, ia menyampaikan harapannya terhadap civitas akademika ITS dalam proses rekonstruksi Aceh dalam bentuk yang nyata. (elg/tov)

Berita Terkait