Aceh Tempo Dulu
Sejarah Aceh adalah sebuah catatan heroik dari putra-putri tanah Serambi Mekah tesebut. Jika kita coba mencermati perjuangan yang dilakukan dalam masa penjajahan patutlah merujuk pernyataan yang dikemukakan antropolog asal Belanda Prof. Dr. Snock Hougrounye yang telibat langsung disana yang diungkapkan dalam bukunya ACEH yang menyatakan bahwa "tidak ada sebuah perang yang dihadapi negeri Belanda yang begitu mengerikan, yang mengakibatkan korban yang begitu besar dan gugurnya para perwira pilihan seperti yang terjadi dalam perang Aceh…Perjuangan rakyat Aceh adalah perjuangan yang belum pernah ditemukan sebelumnya dimana para pejuang merindukan sebuah kematian".
Sepanjang perang Aceh (1873 – 1911) tidak pernah kaum kolonialis dapat melaksanakan pemerintahan seperti yang tejadi pada wilayah lain yang dikuasainya. Keberanian dan sifat pantang menyerah yang ditunjukkan para pejuang dalam menghadapi kafe (sebutan bagi kaum penjajah) Belanda dikarenakan berhasilnya para ulama memasukkan nilai-nilai islam dalam perjuangan rakyat disana. Bagi masyarakat Aceh agama dan negara ibarat dua sisi mata uang yang sama, di saat fanatisme ini dapat ditampilkan maka nyawa bukan lagi merupakan hal yang berharga dimata mereka. Dalam masa penjajahan kolonial inilah lahir sebuah hikayat yang begitu terkenal di Aceh yang berjudul Hikayat Prang Sabi yang berhasil membangkitkan semangat jihad para pejuang di Aceh. Mengutip DR. Fakhri Ali dalam kata pengantar untuk buku Aceh Menggugat; Fikar W. Eda; 2000): "Perang bagi rakyat Aceh bukanlah merupakan suatu hal yang mengerikan namun telah menjadi sesuatu yang menggairahkan".
Kontribusi Aceh Bagi Republik
Pada awal proklamasi kemerdekaan Indonesia, Aceh langsung menyatakan diri sebagai bagian dari negara kesatuan yang baru terbentuk. Pernyataan tersebut bukan sekedar lips service, namun terbukti dengan pembelian duah buah pesewat terbang Dakota pertama bagi pemerintah RI. Pada saat Bung Karno berkunjung ke Aceh beliau meminta bantuan dari rakyat untuk dapat membantu pemerintah. Luar biasa dalam waktu dua minggu terkumpullah ratusan kilogram emas murni dari masyarakat yang kemudian digunakan untuk pembelian pesawat tersebut. Demikian pula disaat pusat pemerintahan sementara di Padang berhasil diduduki Belanda, pimpinan perjuangan di Aceh secara spontan mengambil alih pusat pemerintahan dan melalui radio Rimba Raya di Takengon mengumumkan pada dunia Tentang eksistensi RI. Karena tindakan tokoh-tokoh Aceh tersebut maka oleh Sukarno Aceh disebut sebagai Daerah Modal.
Perseteruan Dengan Negara
– Pemberontakan DI/TII (1958-1963)
Pada tahun 1953 pemerintah RI membuat keputusan mengubah status propinsi Aceh menjadi keresidenan. Keputusan ini terang saja menimbulkan penolakan yang luar biasa dikalangan masyarakat, ditambah lagi selama masa kemerdekaan Aceh terkesan di sepelekan oleh pihak pusat, maka pimpinan masyarakat Aceh yang tergabung dalam persatuan ulama Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Teungku Daud Beureueh, menyatakan bahwa Aceh mendirikan Negara Islam Aceh. Perlawanan didukung oleh sebagian besar rakyat Aceh. Mengutip Cornelis Van Dijk (Darul Islam. Sebuah Pemberontakan; Grafity 1983) "Gerakan ini didukung oleh 90% pegawai Negeri yang ada di Aceh". Perlawanan ini berlangsung selama 5 tahun dan menimbulkan banyak kerugian di kedua belah pihak, namun berbeda dengan penyelesaian masalah pemberontakan DI/TII di daerah lain yang dihadapi dengan kekuatan bersenjata, di Aceh penyelesaian dicapai dengan cara diplomasi. Hal yang dihasilkan adalah Aceh kembali sebagai Propinsi yang mendapat ‘embel-embel’ Daerah Istimewa dan pemberian pengampunan terhadap para pemberontak, ini terjadi pada tahun 1963. Namun ada sebagian dari tokoh pentingnya yang tidak sepaham dan tetap melanjutkan perlawanan, salah satunya adalah DR. Hasan Tiro yang berada di luar negeri.
– Gerakan Aceh Merdeka
Seperti yang telah diuraikan diatas tokoh –tokoh yang tidak sepakat dengan perdamaian yang telah dicapai, akhirnya memproklamirkan berdirinya negara Aceh Merdeka pada tanggal 4 Desember 1976. Gerakan ini dipimpin oleh DR. Hasan Tiro, seorang intelektual yang telah lama di luar negeri. Perlawanan kali ini Merupakan yang terbesar sepanjang sejarah berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena menemukan momentum yang tepat dalam merebut simpati rakyat disaat rakyat tidak tahu lagi kemana harus berlindung dari tindak kekerasan berupa penjarahan, perampokan, penculikan dan pembunuhan. Hukum telah menjadi bingkai yang hanya menjadi pajangan dan hiasan yang mewarnai kondisi Aceh akhir-akhir ini. Bila aparat keamanan yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyatnya, malah melakukan pembantaian dan pembunuhan rakyat. Jika negara yang seharusnya mencegah ternyata melegalisasi tindakan biadab aparatnya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan, apa guna Negara kesatuan Republik Indonesia bagi Muslim Aceh khususnya dan muslim Indonesia pada umumnya?
Pelanggaran HAM berupa penembakan, pembunuhan, pembantaian dan segala jenisnya (Gross Violation of the Human Rights) di Aceh tak pernah di usut tuntas hukum. Yang sangat menyedihkan adalah kenyataan bahwa setelah dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada Agustus 1998, tingkat kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi tidak juga menurun. Malah setelah pencabutan DOM hingga penutup tahun 1999, telah terjadi serangkaian pelanggaran HAM yang berat dan masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Againts Humanity). Hal inilah yang membuat GAM mendapat dukungan dari rakyat Aceh pada saat itu.
* Mahasiswa Pasca Sarjana Teknik Lingkungan ITS berasal dari Aceh
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi