ITS News

Jumat, 15 November 2024
15 Maret 2005, 12:03

Mengapa Kita Senantiasa Terbelakang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

World Trade Center (WTC) boleh jadi runtuh hampir dua tahun lalu, tapi dampaknya masih terasa sangat sampai sekarang. Negara-negara di dunia sepertinya menjadikan peritiwa itu sebagai momentum perubahan di sana sini, termasuk di Indonesia.

Surabaya dalam tiga tahun mendatang bakalan memiliki dua pusat perbelanjaan baru. Darmo Trade Center dan Sungkono Trade Center dipastikan akan menambah semarak kota Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta di Indonesia. Pengambilan nama kedua pusat belanja tersebut pastilah tidak lepas dari peritiwa hebat 911 New York. Hebat bukan?!

Coba bayangkan, kalau saja yang dihancurkan oleh teroris itu Empire State Building. Bisa ditebak, pasti nama kedua pusat belanja tersebut pasti menjadi Darmo State Building dan Sungkono State Building. Empire State Building bisa jadi tidak menjadi incaran teroris karena tidak memiliki nilai ‘seni’ setinggi WTC, tapi dari segi ‘icon’ budaya barat, bangunan yang sempat menjadi gedung tertinggi di dunia itu tak kalah kelas dibanding menara kembar.

Lebih heran lagi, bangsa Indonesia sepertinya memang senang latah. Ikut dan ikut saja. Yang ditiru dari peradaban barat hanya sisi negatifnya saja. Lihat saja di semua pusat keramaian, sudah sulit kita mendefinisikan diri kita beridentitas budaya timu. Aurat yang terbuka, tutur kata yang keras. Mungkin dua hal itu paling mudah dinilai sebagai adopsi dari budaya barat.

Tapi apakah kita pernah berpikir untuk disiplin seperti ala barat. Tinggi menjunjung persamaan. Keras dalam menegakkan aturan. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Pendidikan yang mendidik bukan mengajar. Rakyat yang patuh dan sadar akan hak dan kewajiban. Diakui kita masih jauh dari hal itu. Bahkan pada dekade berikutnya belum tentu kita bisa memiliki mentalitas seperti itu.

Sekali lagi, budaya barat bukanlah budaya yang jelek untuk ditiru. Ditiru pun cari yang baik-baik. Jangan asal tiru. Pengalaman membuktikan, Surabaya bisa jadi sudah punya WTC dari dulu. Tapi apakah pengelolaannya sudah berjalan dengan betul? Mengatasi sistem perparkiran saja tidak becus. Apalagi mengatasi pedagang HP liar yang sulit diatur di dalam WTC Surabaya.

Kalau kita tidak bisa memperbaiki kesalahan yang ada amat sulit kita bisa berharap baik pada sesuatu yang baru. Tak ada yang bisa menjamin pengelolaan dua Trade Center yang terbaru ini menjadi lebih baik dari pendahulunya. Apakah mungkin kita bisa mengelola sistem sebaik WTC New York? Atau bakal bernasib sama dengan WTC Surabaya?! Tuh kan, kita lagi-lagi cuman bisa meniru nama. (Ariyo Wibowo)

Berita Terkait