ITS News

Jumat, 15 November 2024
15 Maret 2005, 12:03

Mengapa Mahasiswa Harus Waspada Terhadap BHMN?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sebagai suatu unit pemerintah, sebuah perguruan tinggi mempunyai otonomi yang terbatas dan harus memenuhi semua aturan yang berlaku untuk institusi pemerintah, seperti halnya pengelolaan keuangan, pengelolaan pegawai, dll. Sehingga tampak bahwa sebagai suatu unit layanan pemerintah, perguruan tinggi hanya akuntabel kepada pemerintah tetapi belum akuntabel kepada masyarakat sebagai stakeholder.

Pada bulan Juli 1999 pemerintah menerbitkan PP No 61 yang memungkinkan sebuah PTN berubah statusnya menjadi PT-BHMN. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa PTN harus mengusulkan diri untuk berubah status dengan mengajukan permohonan kepada pemerintah. Sejumlah kriteria telah ditetapkan dalam Kepmen dan hanya PTN yang memenuhi kriteria tersebut yang kemudian dapat diproses menjadi suatu BHMN yang otonom.

Setiap PTN mempunyai waktu transisi selama 5 tahun untuk melengkapi seluruh perangkatnya sehingga dapat berjalan penuh sebagai BHMN, karena masih ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan misalnya pengalihan aset (kecuali tanah), pengalihan pegawai, penyiapan berbagai perangkat, penyiapan sistem pengawasan, penyiapan sistem pendanaan/penganggaran, dll. Setelah berubah menjadi BHMN maka status PTN tersebut tidak dapat dikembalikan lagi menjadi PTN.

Di ITS sendiri pelaksanaan BHMN akan dimulai awal tahun 2005, artinya mulai saat itu ITS memasuki masa transisi BHMN dan tahun di 2010 akan menjadi BHMN sepenuhnya. Saat-saat memasuki BHMN yang semakin dekat itu membuat kewaspadaan mahasiswa terhadap efek dari BHMN ini juga harus ditingkatkan. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa kita harus waspada terhadap BHMN ini.

Pertama, partisipasi mahasiswa masih sangat rendah. Sosialisasi sangat kurang dan tidak utuh, baik menyangkut aspek kesiapan kita maupun aspek teknis seperti hitung-hitungan positif-negatif BHMN terhadap kehidupan mahasiswa secara umum. Rektorat dianggap tidak terbuka, sembunyi-sembunyi, malu-malu dan tidak membuka dialog terutama di kalangan mahasiswa, sehingga bagi mahasiswa BHMN dianggap hanya untuk kepentingan elite di gedung rektorat. Padahal BHMN adalah sebuah langkah besar yang terkait dengan kehidupan mahasiswa di ITS sehingga pelaksanaannya harus memperoleh izin dari segenap lapisan.

Kedua, dipertanyakan siapa sesungguhnya yang menikmati pelaksanaan BHMN di ITS. Sebagaimana didengung-dengungkan bahwa pelaksanaan BHMN untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas dan berkeadilan. ITS memang masih tertinggal dalam segi kualitas pendidikan. Namun, kita merasakan bahwa kualitas yang tertinggal itu hanya dijadikan alasan pembenar. Dirasakan ada kepentingan terselubung dari rencana tersebut yang sesungguhnya tidak bersentuhan dengan pemenuhan pendidikan yang berkualitas. Ini bisa dilihat dari bentuk terselubung swastanisasi ITS berupa seleksi mahasiswa baru yang tidak 'melulu' hanya berdasar pada diskriminasi intelektual tetapi juga diskriminasi ekonomi.

Ketiga, sikap kultural akademis yang belum terbangun. Alasan yang sering dikemukakan oleh Rektorat ialah gaji yang tidak memadai dari dosen menyebabkan belum terbangunnya kultur akademis yang baik. Namun sebaliknya, bukan jaminan pula jika gaji dosen dinaikkan maka serta merta mereka akan memperbaiki budaya akademisnya. Bisa jadi mereka hanya akan menuntut lebih tinggi lagi, dengan alasan opportunity cost yang sangat besar bila mereka bekerja di luar sesuai bidang profesi juga diperhitungkan dalam skema gaji mereka. Artinya, mereka memandang bahwa menjadi birokrat kampus telah mengorbankan kemungkinan mereka mendapat uang lebih jika bekerja di luar kampus dan masyarakat harus membayar ongkos itu.

Keempat, pengalaman BHMN di PTN lain. Banyaknya kasus di UI, UGM, IPB dan ITB yang merugikan mahasiswa dan pendidikan, secara umum memunculkan pandangan bahwa BHMN rentan terhadap konflik. Kasus tersebut seperti:

1.Pembangunan Bogor Agribusiness Center (BAC) di IPB yang banyak ditentang oleh sejumlah pensiunan guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni. Mereka berpendapat bahwa pembangunan BAC sangat tidak transparan bahkan ada kemungkinan mengandung KKN.

2.Penolakan mahasiswa UI terhadap kebijakan uang pangkal yang mencapai Rp 25 juta bagi mahasiswa baru. Mahasiswa beranggapan uang sebesar itu akan memberatkan mahasiswa yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah.

Sikap waspada mahasiswa ITS terhadap rencana BHMN jelas merupakan reaksi yang wajar dan dari pengalaman PTN lain dalam melaksanakan BHMN menunjukkan bahwa BHMN bukanlah langkah yang mudah untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Vivat ITS !!!

aliefwikarta@yahoo.com
Pokja BHMN BEM ITS Surabaya

Berita Terkait