ITS News

Rabu, 02 Oktober 2024
15 Maret 2005, 12:03

Mohammad Nuh dan Buku Suplemen Pengukuhannya (2)

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ayah satu orang putri (Rachma Rizqina Mardhotillah) ini juga aktif mengisi berbagai ceramah, mulai dari ceramah umum yang berkait dengan persoalan dasar teknologi hingga ke hal-hal yang mengaitkan dengan ke-Islam-an. Itulah sebabnya tidak berlebihan jika pada salah satu bagian buku yang ditulisnya itu terlihat betapa kentalnya pemikiran-pemikiran Mohammad Nuh dengan ilmu dan teknologi serta ke-Islam-an. Dalam benaknya ia selalu memikirkan orang-orang yang lemah dan miskin. Ia pun selalu berikhtiar bagaimana memutuskan mata rantai kemiskinan yang melilit orang-orang miskin tersebut.

Menurut mantan Direktur Politeknik Elektronika Negeri ITS Surabaya ini, pendidikan adalah faktor utama dalam memutuskan mata rantai kemiskinan masyarakat, sehingga pendidikan merupakan salah satu isu pokok dalam pengembangan suatu bangsa. Ini karena peran yang dimainkan pendidikan sebagai "mesin" pencetak generasi yang akan meneruskan perjalanan suatu bangsa.

Bagi Nuh, pendidikan bisa diibaratkan sebagai seorang ibu yang hamil, yang akan melahirkan generasi baru. Dalam kondisi yang normal, kelahiran sang bayi bukan saja membahagiakan tapi juga sangat dinantikan. Namun bila kondisi sang ibu kesehatan fisiknya mengkhawatirkan, psikisnya labil dan tertekan (karena kurangnya perhatian) dan asupan gizi tidak mencukupi, tentu bukan saja merisaukan terhadap keberadaan sang ibu, tapi juga sangat risau akan kesehatan dan kualitas sang bayi yang akan dilahirkan. "Bisa jadi akan lahir generasi yang idiot," kata Nuh, yang kini Rektor ITS.

Percikan pemikiran Nuh dalam buku suplemen itu menunjukkan betapa jauhnya visinya sebagai ilmuwan sekaligus pendidik. Pada bagian pertama, misalnya, dijelaskan hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi serta berbagai persoalan yang menyelimutinya. Ia berbicara antara lain tentang paradigma baru pengembangan Iptek, rumitnya alih teknologi, tentang daya saing dan nilai tambah Iptek, serta upaya rehabilitasi ekonomi.

Pada bagian kedua, Nuh mengutarakan peran penting perguruan tinggi, tentang "cetak biru" pengelolaan pendidikan, kurikulum yang menekankan kemuliaan kepribadian, dan esensi perguruan tinggi sebagai badan hukum milik negara (PT BHMN). Sedang di bagian tiga, Nuh dengan gaya jenakanya mengemukakan berbagai hikmah tentang Iptek dalam hubungannya dengan nilai-nilai religius. Para pembaca tentu akan tersenyum mengikuti pemaparan soal "manajemen informasi setan", hakikat zuhud dan memperdebatkan apa itu sukses.

Walhasil, apa yang diungkapkan dalam buku ini hanyalah sebagian dari tulisan Nuh. Masih banyak tulisan lainnya yang terserak di berbagai tempat dan diperlukan waktu untuk mengumpulkannya. Prof Nuh berharap dirinya akan segera dapat membukukan berbagai tulisannya itu, dan tentu saja tetap dapat meluangkan waktu untuk menulis di tengah kesibukannya sebagai pejabat struktural di ITS Surabaya.

Lalu apa pandangan Mendiknas tentang buku Mohammad Nuh ini, seperti dikatakannya dalam pengantar buku itu, Mendiknas mengatakan, teknologi itu memang subyek yang kompleks, apalagi kalau pembicaraan tentang teknologi itu dikaitkan dengan issue kemajuan dan ketertinggalan sebuah bangsa. Di sini pasti akan ada tema transfer teknologi yang tidak kalah rumitnya dari bidang-bidang teknologi itu sendiri (ada elektro dengan berbagai anak keturunannya, ada mesin dengan anak keturunannya, ada sipil dengan anak keturunannya juga). Pendek kata, berbicara tentang teknologi berbicara tentang sesuatu yang kompleks.

Buku ini, kata Mendiknas, tentu saja tidak bermaksud untuk membahas keseluruhan kompleksitas teknologi. Ia merupakan kumpulan percikan pemikiran penulis tentang berbagai hal: mulai dari kompleksitas teknologi sampai ke keihklasan. Memperhatikan judulnya memang terasa ada yang menarik dari buku ini. Boleh jadi, tesisnya adalah serumit apapun persoalan yang dihadapi, cepat atau lambat kerumitan itu pasti bisa teratasi. Asalkan itu semua dihadapi dengan sikap ikhlas yang sejati.

Buku ini, tulis Mendiknas, sekaligus bisa menjadi potret intelektual sang penulis yang memperlihatkan spektrum cakupan pemikiran penulis yang sangat luas. Barangkali juga karena latar belakang beliau yang dekat dengan pesantren, maka akan banyak kita jumpai dalam buku ini pemikiran-pemikiran yang diungkapkan secara gamblang, dalam rumusan-rumusan kalimat yang jelas, sederhana dan penuh tamsil, meskipun itu sebenarnya menyangkut konsep-konsep yang tidak bisa dibilang sederhana. (selesai)
(Humas ITS/bch)

Berita Terkait