Sebagian besar masyarakat kita, terutama orang tua, disibukkan oleh persoalan pendidikan anak-anaknya. Kita memahami hal itu, mengapa begitu antusiasnya orang tua kita dalam hal pendidikan. Di samping alasan untuk mencerdaskan anak, secara pragmatis orang tua berkeyakinan bahwa pendidikan adalah tangga dalam memperoleh kerja dan karir.Bahkan karena itu pula, sering terjadi usaha-usaha tertentu (maaf, baca: kurang terpuji) sebagian masyarakat kita agar si anak dapat diterima di sekolah tertentu, sekalipun kemampuan si anak pada dasarnya kurang memadai
Bahkan yang terjadi dewasa ini dengan semakin menumpuknya pengangguran yang mencapai 1/5 lebih dari total penduduk Indonesia, sebagian besar dari mereka adalah kalangan terdidik! Minimal adalah SMP/SLTA! Berdasarkan SUSENAS BPS selama 10 tahun terakhir, sektor pendidikan (bahkan tingkatan Perguruan Tinggi pun) telah menunjukkan penumpukan yang mengkhawatirkan. Kita, sebagai bagian insan pendidikan, wajar khawatir karena kondisi sosial ekonomi selama 4 tahun yang stagnan. Mereka akan berkesimpulam #8220;Ternyata sekolah tidak dapat memberikan jaminan yang memadai bagi putra-putri mereka!#8221; Apatis dalam arti ternyata harapan-harapan tentang masa depan cerah pada kenyataannya hanyalah kosong mlompong.
Membangun Motif Baru
Tidak dapat disangkal oleh siapapun bahwa pendidikan adalah investasi yang paling berharga bagi masa depan. Namun juga tidak dapat dinafikan bahwasanya pendidikan adalah salah satu sektor produsen pengangguran terdidik, yang pada akhirnya sangat memberatkan kondisi sosial ekonomi kita.
Kalangan ini, kebanyakan adalah sekelompok orang yang sangat gigih dalam perjuangan hidup khususnya berwirausaha. Bagaimana dari kalangan terdidik kita? Kalau kita cermati sejenak, di tingkatan kelas atas (baca: pengusaha besar bahkan untuk sebagian telah menjadi konglomerat), ternyata adalah bukan terlahir dari kalangan kelas terdidik tinggi! Ambil contoh adalah Syamsul Nursalim dalam Barito Group, Eka Cipta Wijaya dalam Sinar Mas Group, Liem Sio Liong dalam Salim Group, Alim Markus dalam Maspion Group, Wiliam Suryadjaya dalam Astra Group dan masih banyak yang lain. Mereka telah sangat berhasil menjadi pemimpin bisnis generasi pertama, sekaligus telah berhasil melahirkan pebisnis baru yang tidak lain adalah generasi-generasi penerusnya dan keluarga terdekatnya.
Tentu saja untuk generasi penerusnya adalah termasuk kalangan sangat terdidik bahkan mampu mengenyam pendidikan di luar negeri. Di samping itu, kalangan mereka telah menjadi dewa penolong bagi sebagian besar para pencari kerja (job seekers). Para job seeker ini, tidak lain adalah kalangan profesional lulusan pendidikan tinggi dan tidak jarang adalah kalangan akademisi.
Di tingkat nasional mereka adalah Ir Ciputra dalam Ciputra Group, Ir. Fadel Muhammad dalam Bukaka Group, Sugeng Saryadi dalam Kodel Group, Ir. Aburizal Bakri dalam Bakri Group, DR. Mochtar Riady dalam Lippo Group; sedang untuk wilayah Jatim ada Ir. Erlangga Satria Agung, Ir. Muchayat, Drs. Syahputra Woworuntu. Siapapun mereka, dari kalangan terdidik atau tidak, yang jelas mereka adalah orang yang visioner, berambisi besar dan mampu mengelola segala bentuk tantangan, krisis, kekurangan bahkan ancaman menjadi peluang-peluang. Dari peluang-peluang itulah mereka mampu mencetak value! Dari kalangan mereka adalah sekelompok orang yang bertalenta tinggi bahkan terkesan sebagai pengambil risiko yang berhasil.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana sikap masyarakat dalam menghadapi fenomena ini?
Jelas! Masyarakat seyogyanya mengubah cara pandang klasik, bahwa pendidikan adalah sarana untuk mencari pekerjaan. Cara pandang ini, di samping tidak efektif, di kemudian hari hanya akan menjadikan kekecewaan mendalam bila ternyata institusi pendidikan tidak mampu menyediakan lapangan kerja bagi lulusannya. Masyarakat, mustinya dapat menggantikan tujuan-tujuan dangkal itu menjadi penekanan yang lebih dalam. Yang ideal adalah bahwa pendidikan adalah sarana menimba ilmu, sarana untuk pembentukan aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik anak didik sehingga betul-betul memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan bidang yang dipilihnya. Pembentukan karakter yang kuat, sebetulnya adalah pencapaian tujuan yang lebih mulia daripada sekadar mencari kerja. Pendangkalan tujuan pendidikan harus dihentikan oleh sikap masyarakat itu sendiri, di samping sistem pendidikan. Yang perlu diingat oleh masyarakat adalah bahwa pendidikan bukanlah institusi penyedia lapangan kerja!!!
Arah Baru Pendidikan Kita
Menuntut perubahan sikap masyarakat atas institusi pendidikan tanpa diimbangi perubahan sistem pendidikan yang lebih efektif adalah bukan suatu solusi yang adil. Masyarakat, yang dalam tingkatan tertentu masih sebagai obyek pendidikan (baik karena aktif maupun pasif) telah begitu meyakini bahwa pendidikan adalah tangga dalam karir, karena itu ukuran baik atau tidak suatu pendidikan di mata masyarakat adalah sejauh mana anak-anak mereka dapat bekerja selepas lulus. Di samping itu, pendidikan pun memiliki kepentingan agar para alumninya betul-betul terserap dalam dunia kerja secara memadai. Sokur-sokur produktifitas mencapai angka perfect 100%. Semakin tinggi angka produktifitas, maka reputasi Sekolah/Pendidikan itu menjadi sangat baik. Dengan demikian, ia akan menjadi diminati oleh customer (masyarakat). Karena itulah soal produktifitas, bagi Pendidikan Tinggi adalah hal yang sangat penting. Namun asumsi produktifitas yang hanya diukur berdasarkan oleh banyaknya lulusan yang diterima bekerja di perusahaan, maka landasan pemikiran ini sangatlah rapuh manakala permintaan menurun akibat lesunya riil ekonomi. Menurunnya persediaan lapangan kerja akibat stagnasi ekonomi, saya kira akan menjadi bumerang bagi sistem pendidikan nasional ini. Asumsi-asumsi yang menekankan pada kepasifan adalah rapuh dan terbukti tidak efektif manakala dunia industri dan jasa menurun drastis. Dalam kondisi seperti ini, almamaterpun tidak bisa menjadi dewa penolong bagi bekas anak didiknya.
Adakah cara efektif itu? Bagaimana caranya? Harus diubah cara pandang ini. Setidaknya adalah bagaimana mampu mengurangi keinginan dan dorongan lulusan yang bergantung pada sediaan lowongan kerja. Sudahkah sistem pendidikan kita memberikan arahan yang demikian? Yang paling efektif tentu saja menyarankan anak didik untuk tidak terlalu tergantung menjadi pencari kerja ( job seekers). Sudahkah sistem pendidikan kita memberikan ruang bagi tumbuh berkembangnya unit-unit kecil mahasiswa (limited group) kewirausahaan dengan di bawah panduan dosen pembimbing atau wali mereka masing-masing? Saya kira ini belum dilakukan. Akan sangat baik jika sekarang ini kalangan pendidikan (di samping masyarakat tentunya) menyusun langkah-langkah strategis bagi tumbuhnya unit-unit kecil mahasiswa yang bervisikan kewirausahaan. Di samping itu, mereka akan menjadi calon orang kaya baru, tidak lain orang-orang yang akan sangat peduli terhadap almameternya. Perlu diketahui, bahwa sekolah-sekolah yang sangat berhasil dan maju adalah sekolah yang didukung penuh oleh jaringan alumni-alumninya yang berhasil. Ingin bukti? Mari kita coba bersama-sama!
*Penulis : Edi Suparno adalah Mahasiswa Teknik Fisika ITS yang menjabat sebagai Direktur CORE'S Nusantara.
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi