ITS News

Jumat, 27 September 2024
15 Maret 2005, 12:03

Riyanarto Sarno, untuk Dikukuhkan Guru besar Tunggu Liburan Anak-anak

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Betapa tidak, masa penantian pengukuhan guru besarnya lebih dari enam bulan telah dilalui. "SK jabatan guru besar saya memang sudah turun Desember 2003, tapi saya memang baru bisa mengadakan pengukuhannya sekarang. Ini lantaran saya memang harus berbagi kebahagiaan dengan anak-anak," katanya.

Bagi Riyanarto, menyesuaikan diri dengan liburan anak-anaknya memang relatif sulit. Itu lantara ketiga anaknya melanjutkan sekolah di luar negeri, satu kuliah di Singapura dan dua sekolah di Kanada. "Itulah salah satu alasan kenapa baru kali ini saya bisa dikukuhkan. Selain itu bulan Agustus ini juga adalah bulan dimana saya dilahirkan," kata laki-laki kelahiran Surabaya, 3 Agustus 1959. Dengan dikukuhkannya Riyanarto pada 18 Agustus 2004 nanti, kini ITS Surabaya memiliki 39 gurubesar, sedang di Fakultas Teknologi Informasi, Riyanarto tercatat sebagai guru besar ke-4.

Dikatakannya ia memang sengaja menunggu datangnya libur anak-anak untuk acara pengukuhan. Alasannya sangat sederhana, karena selama ini anak-anaklah yang selalu mengalah manakala ia sibuk didalam berbagai kegiatan pekerjaan. "Sekarang saatnya saya harus membagi kebahagiaan itu kepada mereka. Selain itu saya juga ingin memotivasi mereka dalam acara pengukuhan ini, agar mereka bisa lebih giat lagi belajar dan berjuang dalam kehidupan ini," kata alumnus Teknik Elektro ITB dan juga alumnus Fakultas Ekonomi Unpad, Bandung ini.

Ekspor Software
Sementara dalam orasi ilmiahnya yang diberi judul "Pendekatan Nilai Tambah pada Rekayasa Perangkat Lunak" Riyanarto mengatakan, sudah saatnya Indonesia mengekspor soft ware (perangkat lunak). Ini karena sumber daya manusia dan lembaga pendidikan sebagai modal utamanya sudah cukup banyak dimiliki. "Dari pengalaman yang pernah saya lakukan sesungguhnya produk soft ware yang dihasilkan orang-orang Indonesia tidak kalah dengan negara-negara lain," kata peraih doktor bidang komputer sains dari University of New Brunswick, Kanada ini.

Kenapa kita harus mulai memikirkan untuk mengekspor perangkat lunak? Tanyanya, karena katanya menjawab pertanyaannya sendiri, belanja soft ware negara-negara di dunia saat ini mencapai Rp 8 ribu trilun per tahun. "Jika kta bisa mengambil 10 persennya saja, berapa yang bisa diperoleh sebagai pemasukan negara. Sementara sumber daya manusia yang dimiliki sudah cukup banyak dan baik," katanya.

Dikatakannya, ada dua hal yang perlu dipertimbangkan agar produk soft ware bikinan orang-orang Indonesia dapat bersaing di pasar internasional. Pertama, berkait dengan hasil produk yang benar dan bisa sukses di pasar. Ini berkait tidak hanya pada aspek budaya dan ekonomi tapi juga kondisi sebuah negara dimana soft ware itu akan dipasarkan. Kedua, menyangkut bagaimana membangun atau membuat soft ware itu dengan benar.

"Selama ini dua hal itu dilakukan terpisah, sehingga banyak soft ware kemudian bukan saja tidak laku dan diminati, tapi juga malah mendatangkan malapetaka atau kerugian ketika digunakan," katanya. Ia menyebut kerugian akibat penerapan soft ware di Amerika Serikat pada tahun 1980-an mencapai angka Rp 800 miliar. "Ini sebuah angka yang cukup besar dan kini kita harus mencarikan jalan keluarnya agar kerugian itu tidak bertambah besar lagi," katanya.

Menurutnya, hal penting untuk mengurangi kerugian dari soft ware yang telah dibuat antara lain dengan memahami budaya dan kebiasaan masyarakat dimana soft ware itu akan dipasarkan atau diterapkan. "Banyak dari para perancang perangkat lunak kita yang tidak mau atau masa bodoh dengan persoalan itu. Lebih celaka lagi kurikulum di lembaga pendidikan juga tidak memberikan itu, padahal persoalan soft ware menyangkut multi dimensi," kata laki-laki yang sudah mencoba menjual soft ware-nya ke Malaysia, Singpaura dan Thaliand.
(Humas–ITS, 14 Agustus 2004)

Berita Terkait