Perlindungan akan lingkungan hidup sebelum tahun 1980, hanya dipandang sebelah mata. Pasalnya, kalangan bisnis dan industri masih mengangapnya suatu biaya pengeluaran. Sehingga, mereka (kalangan bisnis,red) cenderung menghindari segala tuntutan dari berbagai pihak yang berhubungan dengan pencemaran lingkungan.
Permasalahan inilah, yang disampaikan oleh Ir. Soeryo Adiwibowo,Msc, Direktur Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB, dalam seminar dengan tema "Intensif Ekonomi Dan Teknologi dalam Pembangunan Berkelanjutan" Selasa (14/5).
Namun, semenjak pertengahan dekade 1980 terjadi perubahan yang dratis terhadap isu-isu pecemaran dan kerusakan lingkugan. Hal ini dipicu dengan munculnya protes-protes terhadap penggunaan teknologi nuklir, berdirinya Partai Hijau, dan meningkatnya kepedulian lingkungan dimasyarakat. "Di Jerman Barat, ketiga faktor penting inilah menjadikan bergesernya pandangan dan sikap terhadap lingkungan hidup," terang dosen yang saat ini sedang menyelesaikan S3 di Jerman.
Lantas, berapa persen biaya pengendalian pencemaran? Sekitar 4 persen dari total investasi (The World Bank, 1994). Tapi, di Indonesia biaya pengendalian pencemaran sektor industri setiap tahunnya menelan 70 juta dolar atau 0,5 persen dari total nilai penjualan seluruh industri. "Padahal biaya kesehatan penduduk Jakarta saja 500 juta dolar," bandingnya, yang berarti usaha pengendalian pencemaran yang dilakukan disektor industri di Indonesia kurang memadai.
Sehingga, tambahnya, ongkos untuk pengendalian lingkungan tidaklah semahal yang dibayangkan oleh berbagai kalangan. Atau dengan perkataan lain, kontribusi biaya pengendalian pencemaran terhadap biaya per unit produk yang dihasilkan suatu industri, pada umumnya adalah relatif lebih kecil. "Jadi kalau ada kalangan industri masih menganggap mahal pengendalian pencemaran lingkungan, termasuk golongan konvesional," katanya.
Disamping itu, perusahan yang menerapkan ramah lingkungan, akan dapat meningkatkan daya saing secara global. Misalnya, Jepang yang pertumbuhan ekonominya yang tinggi, saat ini memperketat standar polusi industri. "Tapi, lain dengan Polandia yang malah terdegradasi daya saing global, karena kurang perhatian terhadap lingkungan," ungkapnya.
Untuk itu, kepedulian lingkungan dikalangan masyarakat luas, gerakan lingkungan, dan pemerintah turut menentukan perubahan paradigma kalangan industri. Perubahan itu dari paradigma mekanistik ke paradigma ekologi. "Ini akan berimbas kepada instentif ekonomi dan teknologi, sebagai faktor ekstenal," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Drs.Zaenal Arifin,Msi, Ketua Panita seminar yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PPKPLH) Lemlit ITS ini, menyampaikan bahwa pada seminar ini juga diadakan diskusi panel. Dengan materi antar lain, Penanggulangan banjir, Pengolahan tata kota, Penanggulangan kemiskinan, serta beberapa makalah dengan tema yang telah ditentukan.(rom/li)
Kampus ITS, ITS News — Menyokong antisipasi terjadinya bencana serta terus berupaya mengedukasi masyarakat, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui
Kampus ITS, ITS News — Transisi menuju energi terbarukan menjadi fokus utama demi lingkungan yang berkelanjutan. Mendukung hal tersebut,
Kampus ITS, ITS News — Sektor industri memainkan peran yang cukup penting dalam meningkatkan daya saing di pasar global. Mendukung
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) melalui PT ITS Tekno Sains semakin dipercaya untuk mendukung sektor