ITS News

Rabu, 02 Oktober 2024
15 Maret 2005, 12:03

Taslim Ersam Guru Besar Senyawa Organik ITS: Indonesia Punya Peluang Jadi Negara Produsen Kimia Bahan Alam Terbesar

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Demikian diungkapkan Prof Dr Taslim Ersam, guru besar dalam bidang Ilmu Kimia Bahan Hayati dan Spektroskopi Senyawa Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS yang akan dikukuhkan sebagai guru besar ke-31 ITS, Rabu, 28 Januari mendatang.
Menurutnya, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar, beriklim tropika yang memiliki keanekaragaman hayati (megabiodiversity) nomor dua setelah Brasil. "Apabila tiap spesies tumbuhan mempunyai nilai-nilai kimiawi tertentu, maka keaneka-ragaman hayati dapat dipandang sebagai suatu industri atau pabrik bahan kimiawi terbesar, yang memproduksi senyawa mikromolekul prospektif (chemical prospectives) melalui proses rekayasa bioteknologi alami dan dibantu pula oleh laju fotosintesis yang berlangsung sepanjang tahun," katanya.

Dikatakannya, sesungguhnya ketergantungan umat manusia pada tumbuh-tumbuhan telah diawali sejak pertama kali peradaban dimuka bumi ini dimulai, sebagai bahan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidupnya, seperti sandang, pangan, papan, bahan bakar, perabot rumah tangga dan obat. "Penggunaan ramuan obat tradisional secara empiris sudah berlangsung selama beberapa abad, diikuti pula oleh penemuan beberapa senyawa kimia bioaktif, seperti alkaloida morfin, striknin dan kuinin pada awal abad ke 19, yang dicatat sebagai era baru dalam penggunaan tumbuhan obat dan awal dari penelitian tumbuhan sebagai sumber model molekul baru," katanya menjelaskan.

Sekarang, katanya menambahkan, perkembangan penelitian kimiawi tumbuhan mengalami kemajuan yang makin cepat dengan ditemukannya teknik-teknik pemisahan, kromatografi, dan penentuan struktur molekul dengan metoda spektroskopi pada pertengahan abad ke 20. "Dalam hal ini perlu dicatat, beberapa temuan senyawa bioaktif farmakologis yang sangat berarti, seperti vinblastin dan vinkristin yang ditemukan pada tanaman Catharanthus roseus (Apocynaceae), yang kemudian dikembangkan menjadi obat komersial untuk penyakit kanker. Tercatat pula penemuan diterpenoida taksol dari tumbuhan Taxus brevifolia Nutt. (Taxaceae) yang kemudian diperdagangkan sebagai obat kanker payudara dan kanker ovarium," katanya.

Menyinggung orasi ilmiah pada pengukuhannya yang diberijudul: "Biodiversitas Tumbuhan Sebagai Sumber Model Molekuk Baru dalam Bidang Kesehatan dan Bioindustri" pria kelahiran Pasaman, 16 Agustus 1952 ini mengatakan, Keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah istilah untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabelitas tumbuhan, hewan dan mikroorganisme. Kekayaan hayati Indonesia dimungkinkan oleh beberapa faktor, yaitu: letaknya diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudra (Pasifik dan Hindia): jumlah pulau yang amat banyak: serta sifat geografis yang unik, yang tidak ada bandingannya di dunia. "Oleh karena itu, Indonesia tidak hanya merupakan sumber "keanekaragaman hayati raksasa" (mega-biodiversity) melainkan juga mempunyai tingkat endemik yang tinggi serta tidak kurang dari 42 ekosistem daratan alami dan lima ekosistem lautan. Walaupun Indonesia hanya menempati 1,3 % dari dataran bumi, tetapi memiliki 17 % dari seluruh spesies di dunia," katanya.

Dikemukakannya, keragaman hayati telah menjadi penting bagi kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Jumlah jenis tanaman yang banyak tersebut mempunyai makna global, seperti lada hitam, cengkeh, tebu, jeruk dan lain-lain. Selain itu hutan tropika juga penyedia tumbuhan tingkat tinggi, yang dapat menghasilkan devisa 4,5 miliar dollar AS per tahun. "Pemberdayaan tumbuhan sebagai sumber bahan-bahan kimiawi baru dalam penemuan obat-obatan, insektisida, zat warna dan kosmetika adalah salah satu potensi penting dari keberadaan hutan tropika. Pengembangan pengetahuan empiris menggunakan pendekatan etnobotani dan filogenetik melalui sentuhan sains dan teknologi terkini, dapat menjawab beberapa tantangan dalam bidang kesehatan, seperti penemuan bahan kimiawi baru untuk penyakit baru atau mengganti obat yang sudah imun (tidak aktif lagi), serta untuk penyakit yang belum diketahui penyebabnya, apalagi obatnya," kata ayah dari tiga putra ini, mengakhiri perbincangan dengan para wartawan, Senin (25/1) siang. (Humas – ITS, 25 Januari 2004)

Berita Terkait