Kalau ditanya bagaimana masa kuliahku berjalan, kujawab tegas dengan seru!. Dari tertawa bersama sampai menangis darah ada disana. Semua yang pernah menjadi mahasiswa juga pasti sama-sama mafhum kalau masa kuliah dijejali dengan kerja keras dan perjuangan. Bagaimana susahnya mengerjakan tugas seabreg, ngebut belajar semalam demi ujian, melobi dosen jika nilai kita hancur, atau menginap di laboratorium demi tugas akhir yang hampir dead line adalah hal yang tak dapat terelakkan.
Alhamdulillah, kini aku sudah berdiri gagah di depan Graha ITS. Dengan pakaian kebesaran hitamku yang memang benar-benar sedikit kebesaran- lengkap dengan dasi dan kemeja rapi di baliknya. Bangga kuteriakkan, lantang kukabarkan kepada kedua orang tuaku hasil dari kerja kerasku dan kerja keras mereka berdua telah tiba. Hari ini aku diwisuda. Senangnya!
Sorenya, syukuran kecil pun digelar di rumah. Ibu terlihat paling senang menyiapkannya, tak henti-hentinya ia tersenyum sambil bercerita tentang gelar sarjanaku pada para tetangga. Asyik mengobrol bersama Ayah sambil menonton televisi, sebuah acara gosip membuatku ternganga, Rhoma Irama dapat gelar professor. Lho kok?
Ya, hal itu fakta. Rhoma Irama mendapat gelar professor honoris causa dalam bidang musik dangdut. Sekilas memang bukan hal yang mengherankan mengingat ia toh Si Raja Dangdut. Kontribusinya selama puluhan tahun didunia dangdut patut dihargai, setidaknya begitulah yang dilakukan American University of Hawaii (AUH).
Namun apakah AUH adalah universitas yang benar-benar mumpuni kalau kegiatan akademisinya saja tidak diakui di Amerika Serikat, negeri asalnya sana? Poin yang patut dipertanyakan. Mengutip petikan dari psikolog ternama, Sartono Mukadis dalam sinospsis acara Bibir Plus SCTV di www.sctv.co.id (AUH) hanya universitas papan nama, di situs internet pun tidak ada. Beberapa waktu lampau, Sartono juga empat kali ditawari gelar Doktor Honoris Causa. Asal mau membayar 25 juta (rupiah) begitulah katanya serius.
Hmm, 25 juta untuk gelar Doktor, rasanya patut dipertimbangkan. Mengingat kita tidak perlu susah-susah berkutat dengan puluhan buku tebal di tingkat sarjana, juga tugas penulisan thesis jika ingin mendapat gelar master ditambah disertasi jika ingin bergelar doktor. Tak perlu melewati serentetan perjuangan yang panjang dan melelahkan, bukan? Belum lagi prestise yang didapat karena mendapat gelar Doktor dari universitas luar negeri.
Ironis, sungguh tragis! Perjuanganku untuk meraih gelar Sarjana serasa tak berharga dibanding uang 25 juta untuk gelar Doktor. Pedih rasanya! Aaah.. tapi tidak, bagiku perjuangan selama lima tahun ini lebih dari sekedar gelar Sarjana. Kerja keras ini membuatku menjadi lebih kuat dan lebih dewasa. Lebih berotak dan lebih bijaksana. Ijazahku dan ijazahnya, adalah dua hal yang sangat berbeda.
Penulis:
Hurriyatul Fitriyah
Mahasiswa Teknik Fisika ITS Surabaya
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi