ITS News

Selasa, 03 September 2024
22 Juli 2005, 14:07

Kaum Intelektual, Haruskah Gunakan Kekerasan?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rabu siang tepatnya 13 Juli 2005 kemarin, seluruh kamera, mikrofon dan tape recorder milik para kuli disket di Indonesia mengarah ke kampus ITATS Surabaya. Bagaimana tidak, peristiwa yang memiliki banyak unsur berita ini memang menghebohkan dunia pendidikan kita. Ratusan mahasiswa ITATS merangsek masuk kedalam kampus dan melakukan tindak anarkis terhadap anggota Presidium Rektor mereka, diantaranya Ketua Presidium Rektor versi I Ketut Shandi (Ketua Yayasan Pendidikan Teknik Surabaya) yakni Ir Kristiawan dan I Putu Sutisna.

Kemarahan mahasiswa bermula saat Ir Kristiawan dan I Putu Sutisna pada pukul 05.00 WIB yang membawa 40 orang satpam berseragam, 60 orang tak berseragam dan puluhan mahasiswa asal Indonesia Timur untuk menjaga dan melakukan sterilisasi di kampus yang terletak di Jalan Arif Rahman Hakim ini. Mahasiswa dan beberapa dosen berikut karyawan yang tergabung dalam Paguyuban Karyawan Dosen (PKD) ITATS pun menduga bahwa kedatangan I Ketut Shandi dkk adalah untuk mencuri berkas dan dokumen serta komputer di ruang PR II dan PR III yang menjadi barang bukti dugaan korupsi I Ketut Shandi sebesar 16, 7 milyar rupiah.

Dan seperti yang kita saksikan melalui tayangan berita di televisi, aksi pengusiran yang dipimpin oleh Ketua PKD, Ikhsan, berubah menjadi adegan yang menegangkan. Demonstran yang berhasil menjebol pagar kampus langsung mengejar dan menghajar satuan pengamanan yang ada. Aksi serupa juga terjadi saat Ir Kristiawan yang dievakuasi dari ruangannya di lantai tiga. Puluhan massa yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan karyawan tanpa ampun menghajar pria yang saat itu mengenakan jaket hitam dan topi. Pukulan dan penghajaran pun tak terelakkan. Darah mengucur dimana-mana. Sungguh, mereka adalah kaum intelektual yang sehari-harinya berkutat dengan puluhan buku dan jurnal-jurnal ilmiah.

Kemarahan mahasiswa ITATS yang berubah menjadi perbuatan anarkis diakui Sekretaris Rektor versi Ir Abdul Dzikri (Ketua yayasan versi mahasiswa), Puspo Sasongko, adalah berada diluar komando. "Semuanya di luar kendali, tapi mungkin karena mahasiswa sudah lama menyimpan dendam dan tidak suka dengan gaya-gaya premanisme yang dilakukan Pak IK Shandi, apalagi para mahasiswa sudah lama tahu dengan pola Pak IK Shandi yang suka membentur-benturkan antar kelompok di ITATS," katanya kepada wartawan Gatra (15/7). Permusuhan dengan I Ketut Shandi pun bertambah dengan dibekukannya BEM serta kegiatan kemahasiswaan lainnya.

Tindakan anarkis di lingkungan kampus memang bukan barang baru. Belum hilang dari ingatan kasus serupa yang mengundang banyak perhatian media massa, Kamis, 21 Oktober 2004 lalu yakni pengrusakan sarana kampus yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya. Kemarahan mereka bermula saat panitia pemilihan dekan memutuskan bahwa mahasiswa semester satu sampai semester empat tidak mendapat hak suara. Mereka pun berdemo meminta hak suara berikut transparansi nama calon dan proses pemilihan. Keadaan berubah menjadi anarkis saat mahasiswa mulai menguasai lantai dua dan melakukan pengrusakan di ruang dosen, ruang ketua jurusan, papan pengumuman dan menyita satu kotak suara. Bentrok dengan petugas keamanan kampus pun tak terelakkan. Dan sungguh, mereka adalah kaum intelektual yang sehari-harinya berkutat dengan puluhan buku dan jurnal-jurnal ilmiah.

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) juga mencatatkan hal yang sama. Pergantian pejabat di lingkungan fakultas ini akhirnya berbuntut dengan pemukulan. Catatan lain juga ditorehkan oleh mahasiswa Fakultas Teknik dan Fakultas Sastra Universitas Negeri Makassar yang bentrokannya diwarnai aksi pembakaran kampus. Pun yang juga terjadi di Kampus ITS Surabaya tahun 1998 yakni bentrokan antara mahasiswa D3 Teknik Mesin dan Teknik Elektro yang banyak menimbulkan korban luka-luka. Dan sekali lagi sungguh, mereka adalah kaum intelektual yang sehari-harinya berkutat dengan puluhan buku dan jurnal-jurnal ilmiah.

Kebencian, kemarahan serta serentetan adegan kekerasan haruskan ikut mewarnai keinginan suci mengungkap nilai kebenaran dan keadilan dari agents of change ini? Lalu bagaimana pertanggungjawaban moral mereka kepada masyarakat? Haruskan masyarakat kini menilai bahwa harapan bangsa mereka identik dengan premanisme? Dengan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, sebagai maha dari para siswa, mafhum adanya untuk selalu mengedepankan rasio ketimbang emosi. Wawasan yang semakin luas seharusnya dapat membuat pola fikir mereka menjadi lebih arif dan bijaksana. Sungguh, bangsa ini butuh keteladanan yang dapat dijadikan panutan.

"… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat …” {Al Mujaadilah :11}

Hurriyatul Fitriyah
Jurnalis ITS Online

Berita Terkait