ITS News

Jumat, 15 November 2024
27 Juli 2005, 14:07

BHPMN adalah Reinkarnasi BHMN

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Mulai 2005, Depdiknas tidak akan lagi memberikan status Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ini berarti ITS yang di akhir 2004 gencar mengajukan proposal ke Dikti untuk BHMN, juga akan terpental. Padahal waktu itu seringkali kita baca di papan pengumuman perihal tujuh prinsip ITS BHMN dan juga model sosialisasi lain yang dilakukan pihak ITS. Bahkan koefisien gesekan antara Rektorat dengan beberapa elemen mahasiswa sempat membesar dan mendekati nilai statis. Mengingat hal tersebut, seakan tak percaya jika kemudian ITS (baca: Rektor) merelakan semua kerja keras itu menjadi sia-sia. Benarkah ITS tidak akan menjadi BHMN…. ??? Pertanyaan itu wajib ada di setiap pikiran kita.

Sesuai dengan perundang-undangan yang ada (begitu kata Menteri), status BHMN yang selama ini telah diberikan oleh pemerintah kepada UI, ITB, IPB, UGM, USU dan UPI belum memiliki dasar hukum yang kuat. Ini disebabkan istilah badan hukum dalam PP No 61/1999 yang selama ini dipakai sebagai dasar hukum BHMN sama sekali tidak dikenal dalam UU Sisdiknas tahun 1989 yang menjadi acuannya. Hal ini bertentangan dengan dasar bagi dibentuknya sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Seharusnya PP ditetapkan untuk melaksanakan UU sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pasal 5 ayat 2, ‘Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang Undang sebagaimana mestinya’.

Adanya cacat hukum ini menjadi ‘inspirasi’ bagi 17 lembaga mahasiswa intra kampus di UGM untuk mengajukan judicial review (uji materiil) ke Mahkamah Agung tentang keabsahan status BHMN. Mahkamah Agung pun telah menunjuk hakim dan mempersiapkan segala perangkat untuk membahas persoalan tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui kalo tahun ini ITS ingin juga dapat status BHMN, kurang afdol rasanya. Untuk mengafdolkan status BHMN itu, di UU Sisdiknas yang baru (tahun 2003) telah mengakomodasi bentuk otonomi yang identik dengan BHMN, yaitu di pasal 53 ayat 1 yang bunyinya ‘Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan’. Pelaksaan BHP perlu dipayungi oleh UU tersendiri, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 53 ayat 4, ‘Ketentuan tentang BHP diatur dengan UU tersendiri’. Namun sampai sekarang UU tersebut belum disahkan, meskipun berita yang beredar akan segera disahkan oleh DPR pada tahun ini (mungkin setelah DPR dapat gaji ke-13). Ketika UU BHP telah ada dan sah, secara otomatis semua PTN harus menjadi otonomi dengan status BHP Milik Negara (BHPMN), termasuk ITS.

Istilah BHPMN ini yang dilahirkan untuk mengganti BHMN semakin menunjukkan ‘ngawurnya’ pemerintah dalam menyusun kebijakan pendidikan. Istilah ini malah menjadi penguat yang menunjukkan keinginan pemerintah untuk lepas tangan dari pembiayaan pendidikan tinggi dengan cara apapun. Kalau dulu dengan BHMN, PTN diiming-imingi block grant supaya segera otonomi, sekarang lewat BHPMN yang diatur dalam UU, PTN malah ‘dipaksa’ untuk otonomi.

Mestinya pemerintah menyadari kalau kedua istilah ini pasti akan memiliki dua makna yang berbeda. Dan tidak adanya penjelasan atas perbedaan itu akan dapat menimbulkan salah tafsir dari masing-masing PTN. Apalagi kalau salah tafsir itu berkaitan dengan besarnya pembiayaan yang diterima masing-masing PTN, bisa ‘runyem’ akhirnya. Atau bisa jadi dilahirkannya istilah BHPMN memang supaya ada penafsiran yang berbeda-beda. Sehingga ‘eksklusifitas’ dari generasi pertama BHMN dapat tetap terjaga. Yang mana sudah menjadi rahasia umum kalo mereka dapat menjadi PTN ‘besar’ di Indonesia karena kedekatannya dengan pemerintah.

Lahirnya istilah baru ini, mau tidak mau juga akan mendatangkan konsekuensi tersendiri bagi ITS yang ingin otonomi. Dengan istilah BHPMN, posisi ITS tidak lagi mempunyai daya tawar yang cukup bagus. Jika dulu di proposal BHMN, ‘katanya’ ITS akan meminta 65% pembiayaan dari pemerintah maka lewat BHPMN permintaan itu akan benar-benar menjadi katanya saja. Ini disebabkan BHPMN adalah ‘fardhu’ain’ bagi setiap PTN, karenanya ‘haram’ ada penawaran-penawaran dalam pelaksanaan kewajiban itu. Dampak selanjutnya adalah pembiayaan ‘terpaksa’ dibebankan ke mahasiswa, baik itu lewat SPP yang meningkat, perluasan jalur PMDK Kemitraan dan juga ‘retribusi’ untuk pemakaian sarana mahasiswa. Kalopun ITS mencoba berkontribusi untuk pembiayaan, paling-paling lewat komersialisasi aset-aset fisikya, karena harus diakui pemberdayaan aset intelektual yang dimiliki ITS masih minim.

Kalau itu yang terjadi, kemudian siapa yang harus menanggung beban terberat…. Atau mungkin pertanyaan wajib orang Indonesia, siapa yang harus disalahkan? Rektor… Menteri…. Mahasiswa…. Atau bahkan harus menghitamkan (lagi) kambing yang biasa cari makan di persawahan ITS?

Penulis :
Alief Wikarta
Alumni Teknik Mesin ITS

Berita Terkait