Mengamati kondisi sosial kemasyarakatan bangsa ini sekarang, kita rasanya berada dan terjebak dalam keironisan (ironical trap). Ada perbedaan antagonistis antara kemestian sebagai suatu keniscayaan dan fakta sebagai suatu kenyataan.
Ada beberapa indikator hingga sampai pada kesimpulan itu. Pertama, dalam kancah global, mestinya dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, peran bangsa ini dalam percaturan ekonomi, politik, dan lainnya harus mengemuka. Tapi, kenyataannya masih sangat kecil, bahkan kalah dengan bangsa-bangsa lain, yang jika diukur dari jumlah penduduk, luas wilayah atau geografis, serta kekayaan sumber daya alam masih lebih besar kita.
Kedua, banyak dijumpai masyarakat yang memiliki atau berada di sekitar sumber daya alam yang besar, seperti hutan, justru mereka yang paling terbelakang kondisi sosial ekonominya.
Ironi ketiga adalah gejala politik lokal. Mestinya, yang memiliki hak lebihlah yang menentukan dan lebih dominan, dalam hal itu rakyat. Tapi pada kenyatannya, mereka yang mewakili rakyat (baca: DPRD) lebih dominan, baik tingkah laku politik maupun sosialnya, dibandingkan dengan masyarakat.
Keempat, mestinya dunia pendidikan itu merupakan tempat bersemainya nilai-nilai kecerdasan, intelektualitas dan kesantunan atau keadaban, tapi masih sering dijumpai -di beberapa tempat pendidikan baik dasar, menengah, maupun perguruan tinggi- perilaku yang menghambat tumbuh-suburnya kecerdasan dan kesantunan. Itu bisa dilihat ketika di beberapa kampus dalam skala besar maupun kecil, konflik berkembang menjadi sebuah anarki yang tidak lagi mencerminkan sebuah lembaga pendidikan.
Ironi kelima, mestinya para agamawan dan cendekiawan bisa menjadi pencerah (enlightenment) bagi masyarakat agar mereka terbimbing dari perilaku-perilaku tidak terpuji. Kenyataannya, sering dijumpai lembaga-lembaga tempat mereka berkumpul justru meredupkan nilai-nilai pencerahan itu.
Keenam, partai-partai politik yang mestinya m
enyuarakan aspirasi masyarakat (konstituennya) sering terjebak dalam adu kepentingan antarelite, pengurus parpol itu, sehingga parpol tidak sibuk mengurusi atau menjaring aspirasi masyarakat, tapi disibukkan dengan konflik-konflik internalnya.
Empat Kategori
Persoalannya, bagaimana kita bisa keluar dari kondisi ironical trap tersebut. Untuk menjawabnya, kita bisa menganalogikan kondisi ironical trap itu dengan suasana kemacetan lalu lintas di jalan raya. Ketika lalin macet, ada empat ketegori pengguna jalan.
Pertama, kita mendapati pengguna jalan (baca: masyarakat) yang menggerutu, marah-marah, saling menyalahkan, tapi mereka tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri. Apalagi, masalah yang dihadapi orang lain.
Muncullah dalam masyarakat seperti itu depresi psikologi sehingga menimbulkan inefisiensi dalam tataran kehidupan sosial-ekonomi, yang ujungnya berpengaruh pada produktivitas masyarakat dan bangsa.
Kedua, masyarakat yang menikmati suasana terjebak atau macet itu. Mereka adalah masyarakat yang tidak punya pilihan. Dia rela mengalami kerugian sosial-ekonomi, tapi tidak sampai depresi psikologis. Masyarakat kategori itu disebut sebagai masyarakat laissez-faire, menerima apa adanya terhadap kenyataan tanpa peduli akan pentingnya perbaikan-perbaikan.
Ketiga, masyarakat yang kreatif untuk mencari solusi sebagai suatu alternatif agar dirinya terlepas dari keterjebakan tersebut. Masyarakat seperti itu adalah masyarakat yang cerdas, tapi belum diimbangi dengan memberikan solusi bagi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, secara sistematis, lepasnya masyarakat kategori tersebut dari keterjebakan belum dapat dirasakan atau dinikmati masyarakat.
Keempat, masyarakat yang mampu berkreasi untuk menyelesaikan akar penyebabnya secara sistematis. Tipe masyarakat keempat itulah yang dibutuhkan untuk membebaskan kita dari keterjebakan ironi-ironi tadi.
Tentu, masyarakat tipe keempat itu sekarang masih berada di kelompok creative minority, sebatas kelompok kecil yang memang mau tidak mau harus menuju ke creative majority. Menyadarkan masyarakat agar berada pada kelompok itu mustahil dilakukan dengan segera. Sebab, diperlukan kesadaran kolektif untuk menumbuhkan kelompok creative minority menjadi creative majority.
Siapa yang berada dalam kelompok creative minority? Tidak lain atau seharusnya adalah para ilmuwan, cendekiawan, elite pemerintahan yang memiliki kesadaran tinggi terhadap bangsa ini.
Merekalah yang seharusnya memiliki dan mengambil peran penting dalam menambah jumlah tipe masyarakat keempat itu sehingga melampaui critical mass yang dibutuhkan. Pada titik inilah, diperlukan orientasi baru. Mereka harus memiliki tiga modal utama. Yakni, sebagai pemimpin yang memiliki kebiasaan memikir, pemimpin yang memiliki kebiasaan untuk merangkul semua kelompok, dan pemimpin yang memiliki kebiasaan melakukan sesuatu dengan prioritas-perioriotas atau fokus.
Pemimpin semacam itu sangat diperlukan pada kondisi bangsa yang kini terjebak dalam keironisan (ironical trap). Sebab, keterjebakan selalu berkaitan erat dengan keterbatasan waktu, sumber daya, serta akses. Karena semua dalam keadaan serba terbatas, menyusun prioritas-prioritas untuk mendapatkan solusi optimal menjadi satu keharusan.
Di sinilah -sekali lagi perlu ditekankan- pentingnya pendidikan, baik yang menyangkut kualitas maupun access and equity, sekaligus dituntut kesadaran pentingnya mencerdaskan diri dengan mengonvergensi vektor yang saling menguatkan bukan saling meniadakan.
" Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA, rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi