Beberapa hari yang lalu saya baru saja menerima e-mail dari sahabat pena saya dari Jepang. Kebetulan ia kuliah di Tokyo Institute of Technology. Ia mengatakan “Look, supersonic will take fly from my country.” Entah sebuah kebetulan atau tidak, seminggu yang lalu berita tentang adanya pesawat supersonic buatan Jepang pengganti Concorde juga dimuat disalah satu surat kabar nasional.
Tidak seperti biasanya, e-mail ini saya tanggapi secara serius. Paginya saya mengajak diskusi beberapa senior dan dosen dikampus. Muncullah berbagai pendapat dan argumentasi. Namun, ada satu kesimpulan yang bisa saya kemukakan yakni rendahnya perhatian pemerintah terhadap iptek !
Ini bukan sekedar anggapan, tapi realitas yang bisa diamati di lapangan. Kita belum memiliki grand design pengembangan iptek untuk jangka panjang. Apalagi jika dibandingkan dengan Jepang, Amerika, Jerman, Perancis, Singapura dan sejumlah negara maju lainya. Ibarat perlombaan, mereka sudah mencapi ratusan kilometer sementara kita masih tertatih-tatih di kilometer nol. Sungguh memilukan.
Politik teknologi
Kita sebenarnya pernah mengenyam era dimana iptek mendapat porsi yang besar. Episode ini dimulai pada masa Presiden Soekarno. Ketika itu, beliau sangat concern pada pengembangan teknologi kelautan dan kerdigantaraan. Maka dibangunlah tonggak industri perkapalan di Ujung Surabaya.
Soekarno juga tak segan-segan menyekolahkan putra-putri terbaik bangsa ini untuk menempuh pendidikan tinggi di luar negeri. Dalam salah satu pidatonya dalam peresmian Perguruan Tinggi Teknik Surabaya (cikal bakal ITS Surabaya) ia mengemukakan “…Fase industrialisasi hanya bisa dimenangkan dengan hadirnya tenaga-tenaga ahli teknik yang handal,” (Diambil dari buku Visi dan strategi ITS, 1995).
Ia bahkan tidak segan-segan membuat proyek-proyek mercu suar untuk membuktikan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa berteknologi tinggi. Di tengah keuangan yang kurang begitu baik, dibangunlah Stadion Senayan Jakarta, yang ketika itu merupakan satu-satunya stadion terbesar di Asia. Rancangan konstruksi sipilnya bahkan diakui sebagai salah satu yang terkokoh dan terbaik. Soekarno juga mendirikan Masjid Agung Istiqlal dengan arsitektur yang unik.
Berkat kebijakan Soekarno itulah, banyak lahir ahli teknologi yang kemudian turut mewarnai bangsa ini. Seperti Prof BJ Habibie, pakar pesawat terbang dimana salah satu teori tentang keretakan ekor pesawat terbangnya dipakai oleh hampir semua industri pesawat terbang. Karena itulah dalam ia juga sering disebut Mr Crack. Ada lagi Prof Wardiman Djojonegoro, seorang ahli mesin yang kepakarannya diakui dunia.
Pada masa Orde Baru lain lagi ceritanya. Soeharto yang ketika mengambil alih kekuasan, mendorong penguasaan iptek untuk menyokong kekuasaanya. Boleh dibilang, iptek mendapatkan “induk” yang siap mengayomi. Namun disisi lain, pengembangan iptek harus sejalan dengan kemauan politik pemerintah. Jika tidak, jangan harap bisa berkembang.
Ditunjang lagi dengan posisi Habibie yang menjadi anak emas Soeharto. Praktis gagasan-gagasan yang diusung beliau secara tidak langsung mendapat back up dari pemerintah. Sebagai teknokrat, Habibie memimpikan bangsa Indonesia segera bisa tinggal landas dengan penguasaan iptek di segala bidang.
Maka dibangunlah sejumlah pusat-pusat penelitian. Seperti LIPI, BPPT, dan lembaga-lembaga sejenis. Di Bandung berdiri IPTN (sekarang PT DI). Keberhasilan IPTN menelorkan pesawat Gatot Kaca N250 menjadi saksi bisu keberhasilan politik teknologi ini. Di Surabaya PT PAL, secara rutin mengerjakan proyek pembuatan kapal pesanan baik dari dalam negeri hingga luar negeri.
Sayang, ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya runtuh praktis tidak ada lagi yang menaruh perhatian lebih pada proyek-proyek ini. Semua terbengkalai. Perhatian pemerintah dan rakyat tersedot pada gonjang-ganjing politik. B.J Habibie yang kemudian naik menjadi presiden juga tak mampu memperbaiki kondisi ini. Bahkan kepercayaan rakyat makin menipis.
Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah Gus Dur dan Megawati. Yang konyol, pernah ada sebuah Kementerian Teknologi dipimpin oleh seseorang yang berlatar belakang Ilmu Sosial. Bagaimana mungkin seseorang bisa menyetir dengan baik jika ilmu menyetir saja tidak tahu.
Inilah kemudian yang menjadi starting point dari ambruknya struktur teknologi yang kita bangun selama ini. Tidak adanya kebijakan berkelanjutan menjadikan pondasi iptek yang dibangun oleh para pendahulu kita hancur berantakan. Fenomena ini disebut oleh Aled Markov (1999) dalam bukunya “Resizing Technology” sebagai kebijakan “roboh susun”.
Saya ambil contoh kasus PT DI. Ketika masih bernama IPTN dulu, perusahaan ini merupakan salah satu proyek nasional yang prestius. Namun, pasca krisis moneter dan jatuhnya Orde Baru, IPTN seolah turut ambruk. Kerugian demi kerugian terus menerus mendera. Efeknya, ribuan karyawanya terpaksa dirumahkan.
Ada satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita. Bahwa, selain kerugian material, merumahkan karyawan PT DI sama halnya kehilangan tenaga profesional di bidangnya yang mungkin jumlahnya amat sedikit di Indonesia. Misalnya ada ahli mekanika pesawat, ahli beban angkut, ahli GPS dan sejenisnya. Bukankah sayang, jika ahli-ahli semacam ini harus bekerja bukan pada tempatnya atau malah mengabdi di perusahaan asing. Padahal untuk melahirkan satu saja orang yang spesialis dibidangnya bukan perkara mudah. Selain dukungan dana dan pendidikan, mereka merupakan orang-orang yang terlatih dan berpengalaman.
Kemauan politik
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh tingkat penguasaan ipteknya. Amerika bisa menguasai dunia karena mereka memilki ratusan pusat penelitian dan ribuan tenaga ahli yang setiap saat menelorkan inovasi baru. Jepang, bisa menjadi parameter pusat robot dunia karena ada kerjasama mutualisme antara pemerintah dan industri. Hal yang sama terjadi di Korea Selatan, Jerman, Perancis dan negara maju lainya.
Yang jelas, penetrasi teknologi mereka turut mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Jika ada waktu amatilah kendaraan yang berlalu-lalang didepan kita. Praktis tak satupun buatan dalam negeri. Secara sarkasme, kita sebenarnya telah dijajah pihak asing lewat teknologi.
Kapan kita bisa mandiri? Inilah big question bagi kita semua. Pertanyaan sekaligus sebuah sindiran. Sebenarnya amat mudah jika kita mengetahui akar masalah dari semua ini, yakni kemauan politik. Yang saya maksudkan di sini adalah perhatian pemerintah secara sungguh terhadap pengembangan iptek dalam negeri. Perhatian dalam arti luas, baik dalam hal pendanaan, ijin, kelapangan usaha hingga penerbitan undang-undang yang secara jelas memuat teknologi sebagai salah satu tujuan pokok pembangunan nasional.
Betul kita saat ini berada dalam kondisi keuangan yang sulit. Juga kurang bijak jika memaksakan iptek sebagai satu-satunya prioritas dalam pembangunan nasional. Namun setidaknya ada itikad baik kesana. Toh tidak ada yang sulit. Yang kita butuhkan hanyalah komitmen menuju kehidupan yang lebih baik. Bukan begitu?
Surabaya, 28 Agustus 2005
ditulis oleh:
Nurhadi mahasiswa Jurusan Teknik Fisika ITS Surabaya. Peminat kajian sosioteknologi. Tanggapan atas tulisan ini bisa dikirimkan melalui hadynur@yahoo.com atau nurhadi@ep.its.ac.id
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi