ITS News

Minggu, 29 September 2024
15 September 2005, 14:09

Sembilan Rektor PTN Jatim Sepakat Luruskan Makna Tahun Anggaran

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Demikian diungkapkan Rektor ITS, Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA, Rabu (14/9) siang seusai mengadakan Rapat Kerja Rektor dan Pembantu Rektor yang tergabung dalam Paguyuban Rektor PTN se-Jatim, di Kampus ITS. “Ini persoalan penting yang akan diangkat dan dibawa para rektor PTN di Jatim pada pertemuan Majelis Rektor yang akan dilangsungkan di Banjarmasin, 25 dan 26 September mendatang,” katanya.

Kesembilan rektor PTN itu masing-masing rektor ITS, Unair, Unesa, Unijoyo, UM, Unibraw, Unej, IAIN, dan UINM. Dalam pertemuan itu, mereka berspakat untuk mempermasalahkan persoalan turunnya dana masyarakat dari masing-masing perguruan tinggi yang dihimpun dalam PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan disetor ke kas negara, tidak bisa keluar sesuai dengan tahun anggaran yang dimulai pada Januari hingga Desember tiap tahunnya. “Semua tahu tahun anggaran dimulai pada 1 Januari, tapi kenyataan dana yang dibutuhkan selain gaji rutin, baru turun pada Juni-Juli atau bahkan Agustus. Ini kan ada sesuatu yang keliru. Apakah kalau ada pembangunan atau penelitian yang memang harus segera dilakukan baru berjalan pada saat dana itu turun,” katanya.

Logikanya memang demikian, kata Nuh menambahkan, tapi apa mungkin dana yang turun pada Agustus itu harus dipertanggungjawabkan pada akhir Desember, sesuai dengan berakhirnya tahun anggaran. “Belum lagi jika asumsinya ada uang baru program pembangunan dan penelitian berjalan, itu berarti ada waktu dimana perguruan tinggi tidak ada aktivitas. Ini kekeliruan yang sudah berlangsung lama dan harus segera diluruskan, karena kalau tidak maka sesungguhnya ini menggambarkan adanya ketidakberesan di dalam penataan keuangan negara,” katanya.

Belum lagi, kata mantan direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) ITS ini menambahkan, beberapa usulan yang diajukan perguruan tinggi dalam DIPA (Daftar Isian Proyek dan Anggaran) setelah diajukan dan dimintai dana untuk melaksanakannya, kemudian dicoret atau tidak disetujui. “Padahal uang di kas negara itu adalah uang dari perguruan tinggi masing-masing, logikanya digunakan untuk apa saja, asal sesuai dengan kebutuhan dan alasan jelas serta dilengkapi dengan pertanggungjawaban, tidak perlu dipersoalkan. Kenyataannya, sulit dan lama untuk mencairkan, lebih lagi jika harus dilakukan perubahan, diminta untuk mendapatkan persetujuan DPR,” katanya.

Hal itulah, kata Nuh menjelaskan, yang akan diperjuangkan oleh Paguyuban Rektor se-Jatim. “Kami akan mengajak seluruh rektor PTN dalam Majelis Rektor untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan ini, sehingga tidak terjadi lagi siasat-mensiasati agar kegiatan di perguruan tinggi dapat terus berjalan,” katanya.

JUGA BAHAS SOAL PULSE
Persoalan lain yang dibahas dalam pertemuan Paguyuban Rektor itu adalah perihal PULSE (Public University Link System East Java), jaringan yang akan memberi kemudahan bagi para mahasiswa didalam mengambil mata kuliah tertentu di sembilan PTN di Jatim. “Pada saat ini yang sudah disepakati adalah untuk mata kuliah umum, mahasiswa bisa mengakses bahan perkuliahan melalui internet. Selain itu, baik mahasiswa maupun dosen di masing-masing perguruan tinggi dapat mengakses teks books pada masing-masing perpustakaan di sembilan PTN,” katanya.

Di Eropa, kata Nuh menjelaskan, sudah ada program seperti itu yang digagas dalam Protocol Bologna, dimana para mahasiswa dari masing-masing negara di Eropa bisa memilih dan mengambil kuliah di negara dan perguruan tinggi lain. “Sebenarnya inilah yang mau diterapkan, tapi masih dalam batas pada sembilan PTN di Jatim. Semangat dari program PULSE ini adalah untuk saling berbagi dengan sesama,” katanya.

Hal lain yang mengemuka dalam pertemuan yang berlangsung sehari penuh itu adalah soal besarnya jumlah mahasiswa yang setelah dinyatakan lulus lewat jalur SPMB dan mendaftar kemudian mengundurkan diri, karena diterima di perguruan tinggi kedinasan. “Persoalannya bukan kami ingin menghalang-halangi itu, tapi lebih pada kenapa hal itu meski terjadi, sehingga bangku kosong yang ditinggalkan mubazir. Ini artinya, subsidi di lembaga pendidikan kedinasan jauh lebih besar dari pada di perguruan tinggi, dan ini juga perlu diluruskan,” kata Mohammad Nuh. (Humas/tov)

Berita Terkait