Ketika saya mendengar kabar bahwa ITS akan menjadi salah satu embrio virtual university yang nantinya akan dikembangakan di seluruh Indonesia, sungguh saya sangat surprise. Proyek ini, bagi saya, terdengar sangat besar. Megaproyek lah. Apalagi saat dimana rakyat masih meributkan kenaikan harga BBM dan dana kompensasinya yang menuai masalah diberbagai daerah.
Mungkin sangat utopis apabila saya membayangkan nantinya jika proyek ini berhasil akan saya dapatkan kenyataan seperti yang digambarkan dalam banyak film Sci-fi. Jejaring teknologi yang luar biasa dan akses informasi yang sangat dinamis. Tetapi rasanya tidak kuat saya untuk melanjutkan bayangan itu, bagaimana tidak, saat ini saya masih harus berhadapan dengan kenyataan dunia mahasiswa, dimana budaya riset dan keilmuan masih minoritas dari budaya nongkrong dan tawuran.
Tetapi bagaimanapun juga, seperti yang diungkap seorang pakar marketing, saat ini adalah abad dimana function must follow shape. Yang penting prasarana telah tersedia lebih dulu, apakah nantinya berfungsi optimal atau tidak, itu masalah nanti. Toh, prestise sebagai hi-tech university telah digenggam.
***
Terlepas dari itu semua, percayalah, setiap pembangunan akan ada masalah yang mengikutinya. Seperti halnya megaproyek ini bukannya tanpa masalah nantinya. Inilah yang saat ini menjadi pemikiran bagi saya.
Saya berpikir, apakah peran guru (dosen) akan tergeser oleh dominasi deretan computer yang siap mengajak mahasiswa mengakses berbagai info yang katanya, tidak ada habisnya. Bahkan seperti yang dikatakan oleh satu pemerhati virtual university, nantinya mahasiswa dari Papua pun akan dengan mudah untuk berdialog maya dengan pakar yang ada di Jawa. Semoga.
Seperti yang saya ketahui, peran guru sebenarnya sangat kompleks. Selain seorang pembentuk kecerdasan inteligensi, seorang guru juga mempunyai sebuah hubungan emosional dengan muridnya. Hubungan emosional inilah yang tidak akan kita dapatkan dari deretan computer tadi.
Saya menerawang, rasanya baru tadi Pak Husein, guru Bahasa Indonesia SD saya, memukul tangan saya karena saya tidak membawa buku diktat. Sejak saat itu, saya selalu membawa buku diktat saat pelajaran Pak Husein, tidak pernah lupa lagi. Saya juga masih ingat bagaimana sensasinya seorang murid SMP dikeluarkan dari kelas karena ketahuan mencontek. Sepertinya masa-masa itu yang mengirim kita untuk kembali kemasa lalu.
Saya pernah mendengar, ada salah satu menteri di kabinet saat ini yang masih mempertahankan ritualnya pada lebaran setiap tahun, bersilaturahmi kepada mantan guru-gurunya dan memberikan mereka santunan. Rasanya, hal ini tidak akan kita dapatkan pada generasi-generasi artifisial yang dihasilkan oleh guru artifisial.
***
Sedari tadi ada hal yang mengusik konsentrasi saya, sepertinya lagu itu terus terngiang tepat di gendang telinga saya.
‘’…kupergi belajar sampai kan nanti // hormati gurumu, sayangi teman // itulah tandanya kau murid budiman…”
*) Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi