ITS News

Senin, 30 September 2024
12 November 2005, 15:11

Tiga Fase Perjalanan PTN

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sedikitnya ada empat fase perjalanan sebuah perguruan tinggi negeri (PTN), termasuk Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Pertama, fase masa-masa perjuangan dan pengakuan akan eksistensi diri dan keberadaan PTN. Ini umumnya terjadi pada awal-awal berdirinya sebuah perguruan tinggi.

Pada fase ini, umumnya tempat kuliah berpindah-pindah. Dosen pun tidak jelas, ada atau tidak, sehingga mahasiswa yang mencari dosennya untuk minta diajar. Posisi mahasiswa pada fase ini begitu berjasa sehingga ia menjadi champions bagi keberadaan sebuah perguruan tinggi.

Kedua, fase establishment. Setelah perjalanan panjang untuk mempertahankan eksistensi diri terlampaui, pemerintah dan masyarakat mulai memberikan pengakuan. Bentuknya, jumlah input mahasiswa makin banyak dan kucuran dana dari pemerintah juga sudah mulai mengalir untuk pembangunan sarana dan prasarana kampus.

Ketiga, fase mengejar ketertinggalan. Setelah mendapat pengakuan dan dipenuhinya kebutuhan baik fisik maupun sumber daya manusia, perguruan tinggi dituntut untuk mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dengan perguruan tinggi yang lebih dahulu maju dan ada. Dengan begitu, kesenjangan di antaranya tidak terjadi lagi atau kalaupun ada tidak terlalu jauh berbeda.

Keempat, fase pay-off atau fase membayar utang. Fase ini merupakan bagian dari tanggung jawab sebuah perguruan tinggi yang "wajib" mengembalikan apa yang telah diterima dari pemerintah. Bentuknya tentu saja bukan sesuatu dalam arti finansial atau mengembalikan dana-dana kepada pemerintah, melainkan pemikiran dan produk-produk perguruan tinggi tersebut.

Pada fase ini, memang perguruan tinggi sering terjebak pada berbagai macam alasan keterbatasan. Karena itu, untuk menjalankan fase ini, sudah saatnya PTN membalik pola pikir yang selalu dikukung dengan berbagai keterbatasan tersebut.

Caranya, bagaimana dengan keterbatasan atau di tengah keterbatasan yang ada perguruan tinggi tetap harus berbuat bagi masyarakat dan bangsanya sebagai upaya "membayar utang" dari berbagai fasilitas yang selama ini telah diberikan oleh pemerintah.

Sudah saatnya pula PTN -terutama yang sudah melalui tiga fase pertama itu- tidak lagi menuntut kurang dan kurang. Saatnya perguruan tinggi yang masuk dalam kelompok ini memberikan produk terbaiknya untuk kemajuan bangsa ini. Bukankah falsafah orang cerdas mengatakan: harus dapat memberikan yang terbaik dalam kondisi apa pun?

Bagaimana ITS?

Bagi ITS, tiga di antara empat fase itu sudah dilalui. Fase pertama dilalui pada awal-awal berdirinya hingga tahun 1970-an. Pada saat itu, perkuliahan tidak menentu, dosen sering dicari-cari mahasiswa agar mengajar mereka, dan kampus pada saat itu juga tidak berbentuk satu kesatuan yang utuh. Sering pula perkuliahan dilakukan di rumah-rumah dosen karena memang tempat kuliah tidak ada atau waktu dosen untuk mengajar tidak lagi cukup.

Fase kedua dijalani mulai tahun 1970-an hingga 1990-an. Upaya pengucuran dana melalui bantuan pinjaman Asian Development Bank, baik untuk sarana pembangunan fisik maupun pengembangan tenaga pengajar melalui studi lanjut ke luar negeri. Fase ini dilalui ITS cukup baik. Ini terbukti dengan banyaknya dosen baik master maupun doktor yang dihasilkan dari perguruan tinggi luar negeri -pada saat itu sebagian besar ke Amerika Serikat.

Fase ketiga, fase setelah ITS merasa establish atau mapan, ITS dituntut untuk mengejar ketertinggalan-ketertinggalan atas beberapa perguruan tinggi yang lebih dahulu ada dan menerima bantuan lebih awal. Fase ini dilalui mulai kurun waktu 1990-an hingga 2000-an.

Hasilnya cukup membanggakan. Sejak tiga tahun terakhir ini, dari hasil evaluasi penyelenggaraan ujian masuk Seleksi Penerimaan Mahasisa Baru (SPMB) tercatat bahwa para mahasiswa yang masuk ke ITS memiliki nilai di atas rata-rata. Nilai SPMB rata-rata mahasiswa ITS tahun ini berada pada angka 688,90 sehingga berada di peringkat ketiga besar PTN di Indonesia, bersama-sama ITB dan UI.

Itu berarti upaya untuk mengejar ketertinggalan atas perguruan tinggi lain sudah mulai menemukan hasilnya. Belum lagi jika mau dicatat prestasi-prestasi mahasiswa maupun dosen di tingkat nasional maupun internasional, sudah mendekati apa yang diraih oleh PTN lain yang jauh lebih dahulu menjalani fase-fase yang ada dalam perjalanan sebuah perguruan tinggi.

Demikian juga kepercayaan dari pemerintah, sebut saja misalnya ditunjuknya ITS bersama-sama tiga perguruan tinggi lain masing-masing UI, ITB, dan UGM, untuk menyusun rencana pengembangan Information and Communication Technology (ICT) di Indonesia.

Bagaimana fase keempat? Memang belum secara signifikan dijalankan. Ibaratnya, ITS sekarang baru mampu membayar utang bunganya, belum pokoknya. Ke depan, mau tidak mau, harus secara konsisten ITS mulai memasuki fase keempat dengan membayar hutang pokok. Kesadaran ini harus mulai dibangun dan ditumbuhkembangkan agar keterpurukan bangsa dan masyarakat dapat segera teratasi melalui pemikiran maupun produk-produk ITS.

Itu sebuah tantangan yang dihadapi ITS ke depan. Terhadap pemikiran ini, memang ada mereka yang menanggapinya secara utopis, sok idealis, wajar-wajar saja, dan ada yang bilang sesuatu yang memang harus dilakukan.

Mengubah Pola Pikir

Sesungguhnya kondisi perguruan tinggi kita dewasa ini dihadapkan pada beberapa fakta, berupa tantangan maupun persoalan, internal maupun eksternal. Beberapa fakta itu, antara lain, pertama, belum adanya perguruan tinggi di Indonesia yang mendapatkan pengakuan secara internasional baik dalam kelas 100 terbaik di Asia maupun 500 terbaik di dunia di bidang sains dan teknologi.

Kedua, belum mampunya perguruan tinggi dalam meningkatkan daya saing bangsa (nation’s competitiveness) secara signifikan. Terdapat beberapa parameter daya saing bangsa, meliputi; indikator ekonomi makro; kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing; perilaku inovatif, tanggung jawab profitabilitas perusahaan; dan kontribusi sains, teknologi, dan SDM terhadap dunia usaha.

Item parameter perilaku inovatif, tanggung jawab profitabilitas perusahaan; dan kontribusi sains, teknologi, dan SDM terhadap dunia usaha berhubungan sangat erat dengan kualitas perguruan tinggi.

Ketiga, masih rendahnya alokasi biaya pendidikan. Dalam APBN 2006, pendidikan baru mendapatkan 8,1 persen dari 20 persen yang diamanatkan UUD.

Keempat, masih relatif rendahnya kinerja internal manajemen perguruan tinggi itu sendiri, baik yang dicerminkan dalam produktivitas maupun efisiensi.

Dari fakta-fakta itu, sudah saatnya perguruan tinggi dituntut untuk mengubah pola pikir (mindset) untuk menjalankan empat fase yang harus dilalui oleh sebuah perguruan tinggi. Sudah barang tentu, bersaman dengan itu, paradigma yang dianut dalam mengelola sumber daya dan budaya yang harus dibangunnya di masa depan harus diubah pula.

penulis : Mohammad Nuh, guru besar dan rektor ITS (Surabaya)

Berita Terkait