Jawa Timur melalui Dinas Perindagnya bermaksud mengembangkan 10 klaster industri, dimana pada tahun 2006 ini akan dikembangkan lebih dahulu 4 klaster berupa industri alas kaki, perhiasan, komponen otomotif, dan pengolahan gula.
Tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis apakah pengembangan klaster ini sudah tepat atau belum. Klaster didefinisikan sebagai suatu kelompok perusahaan yang saling terhubung dan berdekatan secara geografis dengan entitas – entitas yang terkait dalam suatu bidang khusus yang menjadi tujuan klastering. Dengan definisi tersebut, maka suatu klaster industri dapat meliputi pemasok bahan baku dan input lainnya dari hulu, hingga ke hilirnya berupa pemasarannya ke pasar potensial.
Klaster juga termasuk lembaga pemerintah, asosiasi bisnis, penyedia jasa pelatihan/penelitian, dan lembaga – lembaga lainnya yang mendukung ” added value ” dari bidang khusus yang diklaster (Porter, 2000).
Kalau kita mendefiniskan program Dinas Perindag Jatim tersebut sebagai program ” pengembangan ”, maka berarti kita akan menilai bahwa ” added value ” dari klaster tersebut secara signifikan benar – benar difasilitasi oleh pemerintah. Mengapa demikian ? karena tanpa peran pemerintahpun, semua sistem bisnis pasti akan berusaha mengembangkan (membesarkan) dirinya sendiri, dan bila sudah besar akan diikuti oleh bisnis lainnya yang akan membentuk sentra industi seperti di Wedoro, dan Tanggulangin.
Dengan demikian, maka kriteria ” multiplier effek ” ekonominya harus sesuai dengan tujuan ” strategis ” pemerintah provinsi, misalnya tidak sekedar penyerapan tenaga kerja, tetapi yang lebih penting adalah ” nilai tambah ekonomis ” yang mampu digenerate oleh klaster tersebut. Jadi pengembangan klaster ini tentunya dimulai dengan penyediaan infrastruktur, dukungan suprastruktur, pembinaan, hingga penguatan jaringan bisnis pemasaran bagi klaster tersebut. Dengan demikian, maka program pengembangan ini nantinya perlu dibagi – bagi kedalam sub progam per periode secara lebih spesifik lagi, misalnya : peningkatan kualitas produk (manajemen mutu) untuk industri alas kaki.
Hal yang penting kedua adalah apakah pemilihan 4 bidang klaster ini sudah cukup strategis bagi ” nilai tambah ekonomis ” Jawa Timur. Penilaian strategis tidaknya nilai tambah ini bisa didekati secara sederhana dengan menilai : apakah output produk klaster yang satunya mampu menjadi input bagi produk lainnya, atau apakah nilai tambah dari volume penjualan komoditas tersebut benar – benar merupakan ” nilai tambah ekonomis yang strategis ” bagi Jawa Timur.
Kita mulai dengan menganalisis industri perhiasan emas. Bila kita melihat dari total harga jual perhiasan, maka nilai tambah ekonomis strategis dari harga jual perhiasan ini maksimal hanya sekitar 10 %, yang meliputi desain, biaya produksi lainnya, tenaga kerja, higga keuntungan penjualan ditingkat retail. Sedangkan bahan baku langsungnya yang berupa emas menyerap porsi terbesar 90 %, dimana komoditas ini merupakan komoditas Internasional, yang bukan merupakan hasil pertambangan di Jawa Timur. Ditinjau dari analisa output menjadi input industri lainnya, maka industi perhiasan emas ini juga tidak signifikan. Dengan kata lain, semakin kita bersemangat meningkatkan produksi, maka yang banyak menikmati porsinya adalah perusahaan multinasional penambang emas.
Industri alas kaki terbagi menjadi dua, yaitu alas kaki berbahan karet import dan berbahan kulit. Dari sisi penilaian nilai tambah ekonomis strategis, maka seharusnya alas kaki bahan kulit yang lebih baik. Hal ini mengingat bahwa output ternak di Jawa Timur cukup banyak, sehingga memungkinkan pengembangan klaster alas kaki kulit yang sukses dikembangkan oleh negara berkembang seperti Brazil dan Mexico (Schmidz and Navi, 1999). dengan demikian, maka efek mulipliernya akan dirasakan oleh banyak entitas, termasuk peternak dan perusahaan pemosesan kulit secara langsung. Hanya saja ada 2 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu rendahnya kemampuan mesin produksi otomatis dan lemahnya kualitas desain yang banyak mencontoh perusahaan lain (Arman, 2002).
Jawa Timur sejak akhir tahun 2003 telah dilirik oleh investor komponen otomotif perusahaan nasional terkemuka di Indonesia. Merekapun telah melihat komitmen dukungan dari perguruan tinggi teknik, khususnya ITS, dalam mendukung pengembangan industri komponennya. Mengingat bahwa akan ada pemain besar yang hadir dan punya ” track record ” peduli dengan UKM, maka pengembangan klaster industri komponen ini dipastikan akan mampu dilakukan. Penguatan regulasi dalam bentuk peraturan investasi yang konsisten, pengawasan kualitas, dan pembinaan Sumber Daya Manusia yang menjadi sub pendukung industri ini mutlak membutuhkan ” fasilitasi ” dari Dinas Perindag. Dalam jangka lama, klaster komponen otomotif yang berkualitas akan mampu menarik investor (pabrikan) besar, misalnya industri motor roda dua, untuk membangun pabriknya di Jawa Timur, sehingga nilai tambah ekonomis strategisnya akan lebih besar. Sementara ini, industri otomotif, baik roda dua maupun roda empat, lebih suka membangun pabriknya di Jabotabek yang dukungan infrastruktur maupun suprastruturnya dianggap lebih mapan, meskipun UMR- nya lebih tinggi dari Jawa Timur.
Industri pengolahan gula bila ditinjau dari nilai tambah ekonomis strategis maupun output input menduduki ranking tertinggi. Dengan perbaikan ke mesin produksi yang lebih moderen, maka industri ini akan mampu bersaing dari sisi output maupun harga dengan gula import, sehingga kebutuhan pasar dalam negeri yang cukup besar akan mampu disuplai dari dalam negeri sendiri, khususnya dari Jawa Timur. Selain itu produk sampingannya yang berupa tetes, ampas, dan limbahnya akan mampu diolah menjadi pakan ternak maupun untuk membuat energi biogas sebagaimana yang dilakukan P3TEK di Parongpong, Cimahi (Kompas, 14 Sept 2005). Dengan demikian, klaster ini akan memberikan multiplier effek yang lebih besar, mengingat bahwa pengolahan pakan ternak juga akan menjadi inputan bagi klaster alas kaki kulit, dan kotoran ternak tadi juga bisa dikombinasikan dengan produk sampingan gula untuk meningkatkan kualitas biogas sebagai energi alternatif disekitar klaster tersebut. Pemerintah Jawa Timur akan mendapatkan insentif dengan adanya pengurangan emisi gas buang karena penggunaan biogas dilokasi klaster tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam program pengembangan klaster Jawa Timur sebaiknya merujuk pada pengalaman kegagalan pengembangan klaster di Indonesia, antara lain : pada saat memulai klaster sebaiknya membuka jaringan kontak yang meluas mulai dari stake holder hulu hingga hilir, sehingga kelompok yang relevan mampu membuat identifikasi, prioritas, dan strategi pengembangan klaster secara sistematis (Enright and Williams, 2000). Pembuatan peta potensi Provinsi sekitar Jawa Timur perlu dilakukan, sehingga ada alternatif apakah perlu membangun industri pendukung harus dilakukan sendiri, atau lebih efisien dengan mengambil pasokan input dari Provinsi sekitarnya. Dengan demikian, konsep yang terpenting dari penemangan klaster ini adalah bagaimana supaya perputaran uang yang berhubungan dengan input output produksi tersebut lebih mengefisienkan penggunaan produksi dalam negeri secara efisien sebagaimana kerjasama antara Meneg BUMN dan Menaker yang mewajibkan BUMN untuk memprioritaskan produksi dalam negeri (Jawa Pos, 2 Januari 2006).
Penulis :
Ir Arman Hakim Nasution, M.Eng
Staf Pengajar MMT – ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi