ITS News

Selasa, 03 September 2024
08 Januari 2006, 20:01

Manajemen Penanganan Bencana Perlu Dibenahi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hujan air mata mengiringi kepergian tahun 2005. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menyambut hadirnya tahun 2006. Setelah riuh gegap gempita menyambut tahun baru Tuhan menunjukkan kebesaran-Nya. Dua lokasi di pulau Jawa dilanda bencana alam yang hadir dalam selang jangka waktu yang tidak lama. Banjir bandang di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara menjadi fokus perhatian masyarakat di pekan ini.

Puluhan korban jiwa jatuh, ribuan orang mengungsi mencari keselamatan. Berita bencana alam ini cukup cepat menyebar melalui media cetak dan elektronik. Dalam awal – awal bulan Januari 2006, media cetak dan elektronik menjadikan bencana dua lokasi di pula Jawa menjadi fokus utama beritanya. Bantuan segera datang meluncur. Pemerintah dengan sigap memberi bantuan ke daerah bencana alam. TNI, tim SAR dan sukarelawan datang untuk memberikan bantuan Bahkan Presiden Republik Indonesia menyempatkan diri mengunjungi korban bencana alam Jumat (6/1) pekan lalu.

Pengumpul – pengumpul dana berlomba – lomba mengumpulkan uang di kota metropolis ini. Di beberapa titik di kota Surabaya, para pengumpul dana ini turun ke jalan meminta sumbangan kepada para pengguna jalan untuk disumbangkan kepada korban bencana alam. Dalam waktu yang relatif singkat, dana puluhan juta telah terkumpul dan siap disumbangkan ke Jember dan Banjarnegara. Tak hanya itu, obat-obatan, pakaian bekas dan segala kebutuhan kehidupan rumah tangga juga telah terkumpul. Rupanya bencana alam di dua lokasi ini sangat menarik simpati masyarakat.

Perlu Manajemen
Satu tahun setelah terjadinya tsunami, pemerintah terus melakukan pembenahan terhadap persiapan menghadapi bencana alam. Berbagai riset dibuat untuk membuat alat pendeteksi gempa. Seakan-akan tsunami adalah stimulan yang manjur untuk dapat menggerakkan pemerintah dalam persiapan menghadapi bencana. Sehingga lambat laun terlihat bahwa ada beberapa daerah di Indonesia yang rawan terkena gempa dan tsunami. Mengapa bencana yang bila terjadi akan merenggut banyak korban baru dikaji mendalam sekarang? Ataukah memang pemerintah sengaja melakukannya secara tertutup dari masyarakat?

Kini perhatian masyarakat berpindah ke pulau Jawa. Puluhan korban jiwa jatuh karena banjir bandang di Jember. Beberapa pihak menyebutkan bahwa banjir bandang di Jember adalah akibat penggundulan hutan. Namun pihak yang lain menyebutkan hal ini adalah akibat hujan deras yang turun terus menerus selama satu minggu sehingga alam tak mampu menampung air hujan. Beberapa pihak saling tuding dan merasa tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Di Banjarnegara-pun juga demikian. Ada indikasi bahwa tanah longsor yang terjadi disana adalah akibat penggundulan hutan. Bahkan di hutan diatas perkampungan yang dilanda bencana tersebut ditemukan beberapa potongan pohon pinus yang siap diangkut. Namun lagi-lagi pihak terkait menyebutkan bahwa bencana tersebut adalah karena proses alamiah bukan karena penebangan hutan. Bahkan muncul anggapan itu adalah kesalahan masyarakat. Masyarakat dianggap bersalah karena nekat menempati lereng gunung yang rawan longsor. Politik kambing putih, mungkin itulah yang dipakai. Lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban dan juga dipersalahkan.

Menurut saya, pihak yang harus bertanggungjawab adalah pemerintah. Dengan kewenangan dan kekuasaannya, pemerintah seharusnya sudah dapat mengambil tindakan antisipasi bencana sejak dulu. Persiapan terhadap hal terburuk yang akan terjadi sepertinya belum masuk agenda pemerintah dalam menghadapi bencana. Disayangkan lagi, proses scanning terhadap daerah yang rawan bencana baru dilakukan setelah bencana terjadi. Setelah mendengar banyak jatuh korban, pemerintah seakan baru bangun dari tidurnya dan baru melangkah. Penelitian dan pengamatan baru dilakukan setelah banyak korban yang jatuh. Padahal, hampir setiap tahun bencana selalu melanda Indonesia.

Manajemen pemerintah dalam penataan hutan perlu dikaji ulang. Beberapa waktu yang lalu, setelah terjadinya bencana banjir bandang di Jember , salah satu LSM pengamat lingkungan hidup menyebutkan bahwa setiap tahunnya LSM tersebut pasti menyerahkan konsep penataan hutan kepada pemerintah. Bahkan itu tak dilakukannya sendirian. LSM–LSM yang lain juga demikian. Setelah melakukan pengamatan di hutan, LSM tersebut mengkaji dan menyusun konsep terbaik dalam penataan hutan. Namun entah apakah konsep yang diajukan LSM terkait tersebut menjadi bahan pemerintah atau hanya ditampung saja tanpa ada kelanjutannya. Sehingga dalam pembuatan konsep penataan hutan, saya berpendapat bahwa pemerintah harus sangat terbuka. Karena dalam menangani hutan, pemerintah tak seharusnya merasa memiliki expert power dalam segala kebijakannya.

Kontrol pemerintah terhadap hutan menurut saya dapat dianggap sangat lemah. Kalaupun pemerintah menyebutkan bahwa korban tanah longsor di Banjarnegara adalah akibat kesalahan masyarakat, hal itu juga akan berbalik kembali kepada pemerintah. Bagaimana proses controlling pemerintah? Kalaupun berdalih karena kurangnya lahan tempat tinggal tentunya ini bukan suatu alasan yang dapat begitu saja diterima. Apakah karena lahan tempat tinggal yang tersedia sudah habis lantas pemerintah lepas tangan? Dan lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korban. Banyaknya persoalan yang datang bukan berarti menjadi alasan untuk meninggalkan masalah yang lalu. Masih banyak yang bisa dilakukan pemerintah.

Proses kontrol oleh pemerintah sebaiknya tak hanya di awal saja. Ibaratnya, hangat – hangat tai ayam,awal-awal kekuasaan adalah masa-masa paling semangat. Namun setelah banyaknya persoalan yang datang kontrol ini semakin lama melemah seiring banyaknya pesoalan yang datang. Saya berpendapat ini dikarenakan kebanyakan orang yang menjabat di pemerintahan adalah orang yang hanya memiliki position power, hanya meiliki wewenang formal dalam pemerintahan. Namun kurang memiliki personal power, ikatan dengan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Kita terkadang tak merasakan adanya pemerintah. Kita baru merasa ada pmerintah kalu ada kebijakan yang bersifat merugikan kita. Inilah yang saya anggap kurangnya personal power pemerintah, sehingga apa yang menjadi maksud baik dari pemerintah ditangkap dengan persepsi lain oleh masyarakat. Seperti apa yang terjadi dalam masyarakat korban bencana, bila pemeintah dengan personal powernya mampu berkomunikasi dengan masyarakat tentunya masyarakat juga akan menyambut baik segala kebijakan pemerintah dalam penataan hutan.

Selain itu, pemerintah kita cenderung senang dengan informasi–informasi yang mendukung maksud mereka. Tidak berlebihan memang, karena ini menyangkut citra pemerintah itu sendiri. Namun bila itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seharusnya pemerintah juga banyak mendengar informasi yang kadang berseberangan dengan mereka. Dalam penataan hutan dan pengawasannya, pemerintah harus banyak koordinasi dengan banyak pihak. Sehingga kejadian-kejadian di masyarakat itu tidak terlihat tepisah-pisah. Kerjasama dari LSM, informasi dari masyarakat, serta saran dari berbagai pihak semoga tidak hanya ditampung saja tanpa ada tindak lanjutnya. Kalaupun ada sistem yang kurang tepat, tentunya pemerintah harus berani mengakuinya. Dan tentunya mereka harus menyiapkan skenario yang paling ekstrem/jelek yaitu bila bencana tetap terjadi.

Apa yang terjadi di Jember dan Banjarnegara seakan telah memecah stagnasi dalam pemerintah, bahwa kita di pulau Jawa juga harus siap dengan ancaman bencana alam. Bencana alam tak mengenal tempat dan siapa yang akan diterjangnya. Semua harus siap siaga. Diharapkan kejadian ini bisa menjadi dasar terjadinya perubahan dalam proses perbaikan konsep penataan hutan di Indonesia. Semoga saja pemerintah semakin ingin tahu terhadap apa yang terjadi dalam masyarakat.

Beban pemerintah Indonesia memang sangat berat. Tugasnya-pun juga sudah menumpuk tinggi, banyak sekali. Masalah juga tak henti-hentinya datang. Mulai dari kasus KKN, sengketa wilayah negara, busung lapar, bencana alam dan masih banyak lagi.Tapi kenapa ya kok banyak yang ingin menjadi pemerintah. Padahal sudah jelas tugas pemerintah itu sangat berat. Saya hanya berharap bahwa siapa saja yang ingin menjadi pemerintah berkeinginan mengatasi masalah yang ada tanpa menimbulkan masalah yang baru lagi. Semoga tak lagi jatuh banyak korban dari bencana alam.

Marji Wegoyono
D 3 Computer Control

Berita Terkait