ITS News

Jumat, 15 November 2024
11 Januari 2006, 07:01

Idul Adha dan Kesalehan Sosial

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tahun ini perayaan Idul Adha di rumah saya semarak dengan kehadiran tujuh sapi dan 35 kambing yang siap untuk disembelih. Cerita paman saya lain lagi, di daerahnya hewan kurban kali ini menurun tajam. Menurutnya hal ini disebabkan kenaikan harga BBM yang berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat sehingga banyak masyarakat di daerahnya yang mayoritas pedagang tidak mengeluarkan kurban tahun ini.

Selalu saja tolok ukur yang digunakan masyarakat sebagai suksesi sebuah pelaksanaan Hari Raya Kurban adalah banyaknya hewan yang dikurbankan. Masyarakat masih menganggap perayaan kurban sebagai sebuah ritual-transendental an sich. Padahal seandainya kita mau mencoba melihat lebih dalam maka sesungguhnya terdapat sebuah pelajaran berharga yang lebih dari hanya sekedar perayaan makan gulai. Pemahaman umum yang mengartikan ibadah kurban hanya sebagai ritual-transendental ini telah menarik perhatian Ziaudin Sardar. Dia mengatakan,”Dien tidak hanya dimanifestasikan dalam bentul ritual-diri saja, melainkan harus dapat menjelma menjadi sebuah peradaban-sosial”.

Sebenarnya Idul Adha mempunyai dua dimensi. Pertama adalah dimensi ritual-transendental. Dimana ritual kurban ini sebagai wujud penghambaan manusia dalam ekspresi syukur kepada Tuhan. Lebih dari itu Tuhan ingin menguji keimanan manusia dalam ritual ini, tujuan ini telah digambarkan dalam kisah Habil dan Qabil yang melegenda.

Dimensi kedua yaitu dimensi sosial. Pemaknaan akan dimensi sosial ini tergambar dari komponen pembagian hasial penyembelihan hewan kurban kepada fakir miskin. Disini ditujukan untuk menimbulkan nuansa egaliter dalam masyarakat. Sayangnya pesan kedua ini tidak banyak dipikirkan oleh kebanyakan kaum muslim. Padahal, seperti halnya daging kurban, kebaikan adalah sesuatu yang dapat ditularkan.

Kebanyakan kaum muslim hanya terpaku pada pemberdayaan keimanan diri sendiri. Menjadi orang yang paling baik diantara orang yang lain mungkin menjadi prioritasnya. Tetapi ingat sebaik-baik manusia adalah manusia yang dapat bermanfaat bagi orang lain. Nah pemberdayaan masyarakat menjadi sebuah keyword disini.

Saat ini yang banyak terjadi adalah banyaknya sarjana dan cendekiawan muslim yang tidak membumi. Pemikiran-pemikiran mereka hanya menjadi wacana yang utopis, padahal kebanyakan wacana itu sangatlah bagus. Mereka hanya menjadi pemikir yang bertengger di menara gading. Untouchable. Padahal, yang dibutuhkan kaum muslim saat ini adalah para sarjana dan cendekiawan yang mampu memberdayakan mereka. Menjadi agent of social change di tengah-tengah mereka. Tentunya tidak hanya ditopang oleh pemikiran-pemikiran mereka yang dahsyat, tetapi lebih di utamakan kerja nyata dan dedikasi yang tinggi.

Kuntowijoyo, salah seorang cendekiawan muslim mengatakan dalam bukunya berjudul ‘Paradigma Islam. Interpretasi Untuk Aksi’ mengatakan bahwa harus ada lima langkah yang ditempuh untuk menjadikan Islam menjadi sebuah agama yang dinamis. Salah satu formulasi yang dibuatnya adalah, perlunya pengembangan tafsir sosial structural dari pada penafsiran individual seperti yang sering dilakukan saat ini.

ITS dan Kualitas Lulusannya

Setiap tahun banyak lulusan sarjana yang dihasilkan oleh banyak universitas di Indonesia. Tetapi apakah dengan titel sarjana yang dikenakannya para lulusan itu mampu memberdayakan masyarakat disekitarnya? Apakah mereka mampu menjadi sebuah agent of social change bagi masyarakat di sekitarnya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selama ini mengusik jutaan rakyat kecil di negeri ini. Jangankan memberdayakan masyarakat di sekitarnya, lha wong ndak jarang sarjana yang nganggur. Ini adalah realitas sosial yang terjadi di masyarakat.

ITS sebagai sebuah universitas mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas lulusannya. Apakah nantinya ITS hanya bisa menjadikan para sarjana lulusannya menjadi para pemikir yang berada di menara gading dan tidak membumi? Apakah nantinya kualitas lulusan ITS mampu menjadi pengobat rindu masyarakat akan hadirnya seorang yang mampu membaur dan membawa mereka kepada kehiduapan sosial yang lebih baik? Tidak ada yang tahu.

Saya bermimpi, jika nanti kualitas lulusan ITS dengan kesahajaannya mampu menjadikan masyarakat di sekitarnya mempunyai penghidupan yang lebih baik. Seakan-akan dia sedang membagikan daging kurban layaknya menularkan rezeki yang dimilikinya kepada orang-orang disekitarnya. Bayangkan lagi jika ada seribu lulusan ITS yang mampu memberdayakan masyarakat sekitarnya. Alangkah indahnya.

Sepertinya kambing-kambing itu masih mengembik di depan telinga. Mengingatkan saya untuk segera berkurban. Mengingatkan saya untuk segera sadar menularkan kebaikan bagi orang-orang di sekitar saya. Dengan pengorbanan tentunya.

Ayos Purwoaji
Penulis adalah jurnalis ITS Online dan mahasiswa Despro ITS

Berita Terkait