Rumah saya di daerah Gunungsari, Surabaya. Dulu waktu masih Maba, setiap saya berangkat kuliah menuju ke kampus ITS Keputih, saya selalu berkonsentrasi tinggi memperhatikan lubang-lubang jalanan. Saat melewati daerah Surabaya Tengah lumayan, mungkin tidak banyak lubang. Namun begitu menuju Keputih, konsentrasi harus segera naik. Banyak lubang-lubang di jalan yang mungkin bila tidak saya hindari akan bisa menjungkirkan sepeda saya. Apalagi kalau musim hujan, selain motor harus pelan, mata harus juga menatap dengan tajam, karena bisa jadi genangan air di depan adalah lubang jalanan yang dalam.
Sekarang sudah setahun lebih aktifitas itu saya lakukan. Saya tak perlu lagi berkonsentrasi tinggi menghafal lubang-lubang di jalanan. Saya sudah hafal jalan mana yang lubangnya besar, jalan mana yang halus dan jalan mana yang kasar. Sehingga waktu perjalanan saya juga semakin singkat, karena saya langsung langsung bisa memilih jalanan yang halus.
Itu tadi adalah sekelumit kisah perjalanan salah satu rute di kota Buaya ini. Dan saya berpendapat itu adalah rute yang masih sangat beruntung.
Saya berpendapat rute itu masih untung karena jalanan kota Surabaya, khususnya di pinggiran sangat jauh dari “layak” untuk disebut jalanan kota besar. Sebut saja Jl. Kalianak, Jl. Banyu Urip, Jl. Arif Rahman Hakim, Keputih, Nginden, dan masih banyak lagi jalan yang dipenuhi lubang-lubang yang menganga yang bisa jadi membahayakan bagi pemakai jalan.
PELAN PELAN TAPI PASTI
Proses pembangunan jalan saya rasa tak mungkin bisa dilakukan secepat kilat. Butuh waktu untuk pengerjaannya. Saya agak sedikit berbangga hati saat Jl. Nginden diperbaiki, mungkin ini adalah awal yang bagus untuk proses perbaikan jalan. Namun justru saya merasa kecewa yang sangat mendalam saat pertama kali hujan turun. Jalanan yang baru dibangun itu ludes disapu air hujan. Heran saya, kok bisa jalan aspal amblas terkena air hujan ???
Tambah rumit rupanya. Niatan membangun sudah ada, bahkan sudah dilaksanakan. Namun rupanya ”buaya–buaya” di kota buaya ini selain membiarkan lubang di jalanan, ia tak meninggalkan kesempatan yang ada. Ia juga membuat lubang di pemerintahan. Saya sempat bersuudzon, aspal-aspal di Jl. Nginden itu ditelan oleh “buaya-buaya” di kota ini. Saya tak begitu paham tentang kualitas dan jenis aspal. Mungkin saja ada aspal berkualitas bagus dan ada yang berkualitas kurang bagus. Sehingga yang seharusnya memakai aspal berkualitas bagus, tapi diganti bahan lain yang saya pikir berkualitas rendah, sehingga dalam beberapa kali turun hujan, jalanan Nginden sudah amblas. Semoga saja pikiran kotor saya tadi tidak terjadi di kalangan wakil rakyat.
Saya sangat bangga dengan ITS, karena jalan-jalan yang berlubang di kampus ini segera ditambal. Sehingga tak banyak korban jatuh. Mungkin saat ini saya hanya bisa berdoa, semoga saja bapak-bapak di “atas” segera merasa terpanggil untuk memperbaiki jalanan kota buaya tercinta ini. Lha..sudah bertahun-tahun, sudah gonta-ganti pejabat, tapi kok tidak ada perubahan jalannya. Pelan-pelan saja, asal pasti. Dan yang pasti, sumbatlah mulut-mulut “buaya” yang mencoba memakan aspal jalan kota buaya tercinta ini.
Marji Wegoyono
D3 Computer Control
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi