ITS News

Jumat, 15 November 2024
23 Januari 2006, 14:01

Relokasi Industri dan Hubungannya Dengan UMR

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Demo buruh menuntut kenaikan UMR Jatim ditolak keras oleh APINDO Jatim. Alim Markus, Ketua APINDO Jatim, sebelumnya telah mengatakan bahwa ada potensi industri rokok, sepatu, dan tekstil untuk direlokasi ke Jawa Tengah. Sementara itu, Gubernur Jatim, Imam Utomo, mengatakan tidak percaya dengan keinginan relokasi yang disuarakan pengusaha (Jawa Pos, Sabtu, 21 Januari 2006). Tulisan ini mencoba untuk melihat sejauh mana
kemungkinan relokasi tersebut akan benar–benar dilakukan, mengingat ada beberapa konsekuensi dari relokasi industri tersebut.

Keputusan tentang relokasi industri merupakan keputusan strategis yang berimplikasi jangka panjang (lebih dari 5 tahun) dengan motivasi meminimasi biaya untuk memaksimasi keuntungan. Dengan demikian, rendahnya biaya produksi yang dapat dikontrol industri dan kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan pasar adalah merupakan dua faktor utama dalam keputusan relokasi.

Meskipun demikian, prioritas dari keputusan akan tergantung pada jenis industri. Untuk heavy industry seperti baja dan petrokimia, faktor–faktor seperti ketersediaan tenaga kerja, bahan baku, transportasi, infrastruktur, dan biaya pengembangan tanah menjadi pertimbangan ekonomis yang terpenting (M. B. Gerrard, 1995). Heavy industri ini memiliki karakteristik margin per unit yang tinggi dan penguasaan pasar yang kuat dengan hanya ada beberapa produsen (oligopoly).

Industri tekstil, rokok, dan sepatu di Indonesia merupakan industri yang bersifat semi padat karya dengan keuntungan margin per unit sedang dan pasar yang kompetisinya ketat. Industri tekstil (utamanya yang hulu, misalnya produsen kain) adalah potensial untuk mengalami relokasi, mengingat bahwa rata–rata usia mesinnya telah tua (diatas 15 tahun) dan hanya mampu memproduksi kain dengan kualitas low end yang selama ini dikuasai Cina, Vietnam, dan Kamboja. Relokasi industri tekstil akan dipicu oleh peremajaan mesin–mesin berteknologi tinggi, sehingga mampu menghasilkan kain kualitas tinggi, jenis stretch misalnya, yang permintaan dunianya tinggi sekali. Mengingat bahwa industri hulu tekstil ini padat modal dan bersifat continuous procees , maka relokasi regional akan diarahkan pada lokasi dengan harga investasi tetap (misal : tanah) yang lebih murah dan daerah dengan suplai listrik yang lebih kontinyu. Sedangkan relokasi internasional adalah mengarah pada negara dengan tingkat suku bunga yang rendah dan kebijaksanaan fiskal yang menarik, seperti Cina.

Sedangkan untuk industri rokok besar, yang terjadi malah akuisisi, seperti dibelinya saham HM sampoerna oleh Phillip Morris International (PMI). Akuisisi ini dipicu oleh kerasnya desakan masyarakat negara maju untuk merelokasi industri ‘penyebab penyakit’ tersebut ke negara-negara berkembang. Oleh karena itu, kemungkinan relokasi industri rokok besar keluar Jatim relatif kecil, karena masuknya pemain internasional akan mampu meningkatkan pasar baru sebagai penyeimbang faktor biaya tenaga kerja. Sebagai contoh, omset penjualan HM Sampoerna setelah diakuisisi PMI meningkat 30 persen selama setahun ini.

Adapun industri yang telah mengalami relokasi internasional adalah industri sepatu. Pemicu terjadinya relokasi PMA industri sepatu ke China dan Vietnam pada awal tahun 2000 dikarenakan semakin tinginya biaya produksi yang diakibatkan masalah perburuhan dan ketidakmampuan pemerintah menumbuhnya industri bahan penunjang sepatu. Padahal bahan penunjang ini adalah yang tertinggi dalam perhitungan biaya produksi. Dengan demikian, maka kriteria kompetisi harga dan ketepatan penyelesaian yang menjadi
perhatian utama buyer luar negeri tidak dapat dipenuhi.

Data BPS menunjukkan terjadinya penurunan ekspor sebanyak 12,5% pada kwartal pertama 2004 (dari 406 juta USD menjadi 366 juta USD). Kehancuran ini berlanjut hingga ke Jawa Timur, dimana data dari Asosiasi Perusahaan Sepatu (Aprisindo) Jatim menujukkan pada akhir tahun 2002 saja telah terjadi penutupan hampir 50% dari jumlah pabrik sepatu anggota Aprisindo Jatim. Ini berarti telah terjadi PHK dari sektor sepatu sebanyak 20.819 orang, diluar home industry UKM yang jumlahnya bisa ratusan ribu unit usaha. Dan kalau pada awal tahun 2006 ini dihembusan akan ada relokasi industri sepatu ke Jawa Tengah, maka bisa jadi hal ini akan menjadi kenyataan. Industri sepatu merupakan jenis industri yang paling padat karya dibandingkan kedua jenis industri sebelumnya, dengan pasar potensial luar negeri.

Sebagai gambaran, harga sepatu olah raga standar produksi China dan Vietnam bisa mencapai 2,8 USD per-pasangnya (Aprindo Jatim, 2002). Sementara ini produsen sepatu lokal hanya mampu menjual dengan harga termurah 3 USD. Dengan demikian, bila produsen lokal ingin bersaing dengan produk China dan Vietnam, maka mereka harus menurunkan target biaya produksi (target costing) untuk mencapai harga jual 2,8 USD atau lebih rendah, diluar komitmen kualitas dan ketepatan penyerahan.

Menurunkan biaya dari sisi bahan baku dan overhead pabrik jelas tidak mungkin karena ketergantungan pada bahan baku dan mesin produksi impor yang cukup tinggi. Meningkatkan penjualan dengan cara mendekati lokasi pasar dan memproduksi dengan konsep skala ekonomis untuk menurunkan harga dalam era informasi dan perubahan sekarang ini sudah tidak relevan lagi. Maka solusi bersaing yang dipilih adalah penurunan biaya produksi tetap (committed fixed cost). Dan penurunan biaya tetap yang ‘mudah’ dan ‘mungkin’ bagi pengusaha adalah dengan meminimalisir biaya
tenaga kerja, yang direpresentasikan pada rendahnya UMR. Selisih UMR sebesar katakanlah sebesar 125 ribu perorang perbulan untuk perusahaan dengan 1000 tenaga kerja akan menghemat 125 juta per bulannya. Situasi demo buruh yang relatif sedikit akan memberikan penghematan yang signifikan bila dikaitkan dengan tereduksinya biaya penalti akibat penyelesaian pesanan yan tepat waktu.

Mengapa pilihan yang diambil pengusaha adalah biaya tenaga kerja yang minimal, sehingga seakan– kan mengabaikan kepentingan hak–hak buruh?. Dari sisi pengusaha melihat UMR yang ditetapkan pemerintah tidak mensyaratkan performance indikator yang harus dimiliki oleh para buruh. Jadi seakan–akan pengusaha hanya disuruh membayar upah, tanpa mampu menerapkan kinerja standar yang diharapkan. Seorang pengusaha Jatim
terkemuka memberikan contoh bahwa di China itu UMR–nya dua kali lipat dari UMR kita, tetapi diimbangi oleh produktivitas buruh yang tiga kali lipat dari buruh kita. Dengan demikian, maka ada trade off antara tingginya upah buruh yang dikeluarkan pengusaha dengan produktivitas yang dinikmatinya. Dari sisi buruh melihat bagaimana mereka akan mampu meningkatkan produktivitas bila kebutuhan hidup minimumnya adalah demikian minim, sehingga mengganggu kinerjanya.

Dengan demikian, agar wacana relokasi ini tidak terjadi, maka pemerintah provinsi, pemda, buruh, pengusaha, dan dinas terkait perlu duduk bersama untuk membuat solusi yang lebih cerdas, misalnya mekanisme penentuan UMR yang mensyaratkan performance indikator produktivitas, pengurangan biaya tarif yang cenderung menghambat dan membebani. Semua pihak, utamanya pemerintah daerah harus berani berkorban sementara,
misalnya PAD mungkin turun, tetapi kesinambungan usaha bisa tetap berjalan. Ingatlah prinsip : ‘Tabur dulu,baru tuai kemudian’.

Penulis :
Ir Arman Hakim Nasution, M.Eng
Dosen Teknik Industri dan MMT – ITS

Berita Terkait