Di tengah keterpurukan masyarakat menanggung hidup, Grup Properti Procon Indah membeli lisensi majalah Playboy dari Amerika seharga 1 miliar rupiah. Dan rencananya awal Maret nanti majalah itu akan meluncur di masyarakat. Tak tanggung-tanggung, untuk terbitan perdana, rencananya majalah ini akan terdiri dari kurang lebih 200 halaman. Penerbitan majalah dengan segmen pasar kaum adam ini tengah menuai protes dari masyarakat. Tercatat Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), Fraksi PDI Perjuangan, Ketua PB Nahdatul Ulama (NU) KH Masdar Farid Masudi, Wakil Sekjen DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah, Sekretaris Umum Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) Theophilus Bela, Front Pembela Islam (FPI) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan masih banyak LSM lain yang secara tegas menyuarakan penolakan terhadap penerbitan majalah ini.
Setelah sekian lama pornografi yang sampai saat ini pemerintah sendiri bingung memikirkan arti dan batasannya melang-lang buana di Indonesia, DPR kini sibuk meracik RUU anti pornografi. Dari beberapa kejadian yang bersinggungan dengan pornografi, seakan polemik diterbitkannya majalah Playboy adalah stimulant yang ampuh bagi pemerintah untuksegera menggarap UU anti pornografi. Entah nantinya akan segera selesai atau tidak, tapi yang jelas dari berbagai media sudah tersiar bahwa DPR saat ini semakin giat menggarap RUU anti pornografi. Kok ya baru sekarang pak buatnya? Kok ndak dari dulu? lha wong sudah tahu porno itu membahayakan. Bisa jadi pembengkakan jumlah penduduk Indonesia adalah dari faktor yang satu ini.
Pornografi tidak sama dengan Demokrasi
Arus perputaran informasi sekarang semakin menggila. Kejadian di ujung barat dunia dapat disaksikan langsung oleh masyarakat di ujung timur dunia. Alih ilmu serta budaya dapat dengan mudah terjadi di belahan bumi ini. Seakan dunia kini berada dalam layar berukuran 14 inch. Memang sejak internet masuk dalam peradaban manusia, seakan tak ada lagi penghalang bagi manusia untuk selalu ingin tahu.
Kebebasan dalam berekspresi di Indonesia saat ini benar-benar dijunjung tinggi. Semenjak tumbangnya rezim Suharto, seakan memberi angin segar kepada semua pihak untuk berekspresi. Termasuk juga media massa, baik cetak maupun elektronik.
Berbagai majalah terbit di kalangan masyarakat tanpa adanya kontrol yang memadai. Lapak-lapak kaki lima di pinggir jalan, yang melayani jual beli majalah, tak lagi memandang apa yang ia jual, namun berapakah untung yang akan diraihnya. Tak jarang kita melihat pose-pose wanita yang tampil tak senonoh yang menjadi cover suatu koran atau majalah. Memang dalam kemasannya tertera khusus untuk dewasa, namun ternyata dalam prosesnya apa yang tertera tersebut tak sepenuhnya terwujud. Agar dapur tetap mengepul, para penjual majalah ini tak memikirkan dari apa yang ia pajang di depan kiosnya.
Lagi-lagi berdalih kebebasan berekspresi dan demokrasi. Memang demokrasi tak hanya menyentuh ranah politik semata. Demokrasi menyentuh segala aspek kehidupan termasuk juga dalam proses pendewasaan pola pikir masyarakat dalam menerima arus informasi. Namun apakah untuk proses pendewasaan masyarakat kita harus bertaruh sebesar ini. Rasanya kita sudah cukup terserang budaya yang berdampak negatif kepada generasi penerus kita. Tayangan sinetron anak muda yang tak jelas tujuan pendidikannya, film-film yang tak senonoh,dll, semuanya sudah menjadi santapan rutin adik-adik kita. Akankah semuanya itu akan ditambah lagi?
Memang secara teori, proses distribusi majalah Playboy cukup termanage dengan baik. Dalam pertemuannya dengan Dewan Pers Jumat (20/1/06) Direktur PT Velvet Silver Media, M Ponti Carolus, menyebutkan bahwa Playboy akan terbit dengan tersegel. Isi-isi yang disajikanpun juga tak melulu pada seks. Bahkan proses penjualannya juga akan sangat tertutup dengan dijual pada toko buku tertentu.
Akankah komitmen ini akan terus dilakukan oleh perusahaan ini ? Melihat aksi penolakan masyarakat yang cukup besar, bukan suatu yang mustahil penerbitan Playboy yang pertama justru akan menimbulkan konflik sehingga bisa jadi perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Dengan modal yang dikeluarkan untuk membeli franchise dari Amerika senilai Rp 1 miliar, bukan tidak mungkin ancaman kebangkrutan akan merubah komitmen yang mereka buat. Saran-saran dari para praktisi untuk merubah komposisi dari isi majalah-pun juga seakan menjadi angin sepoi bagi perusahaan ini.
Sekali lagi mata pisau demokrasi yang lain dicoba untuk menusuk Indonesia. Lemahnya pengawasan pemerintah, dan belum adanya UU tentang pornografi, rupanya suatu celah yang lebar bagi orang yang tak bertanggungjawab untuk menghamburkan arti pornografi.
Tinggal Aksi Pemerintah
Rakyat kini seakan sudah lelah menghadapi berbagai konflik di negri ini. Aksi penolakan dari masyarakatpun juga sudah jelas. Akibat-akibat yang ditimbulkan juga sudah terprediksi jika majalah ini tetap terbit. Akankah pemerintah sebagai pemegang kendali negri ini akan diam dan mengangguk saat mengetahui adanya “benih virus” yang meminta izin masuk? Demi kehormatan bangsa, pendidikan adik-adik penerus bangsa, semoga tak ada pintu bagi Playboy masuk ke Indonesia.
Referensi : www.antara.co.id 19,20,21 /1/06
Penulis : Marji Wegoyono
Mahasiswa D3 Teknik Elektro Computer Control
ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi