ITS News

Senin, 30 September 2024
29 Januari 2006, 10:01

Bila Dua Mahasiswa Asing Perdalam Ilmu di ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Melihat tubuh Raphael, sepintas mirip bintang film yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwazeneger. Selain tingginya lebih dari dua meter, tubuhnya berotot. "Saya memang penggemar fitness. Akhirnya jadi seperti ini," ujar pemilik nama lengkap Raphael Dasselaar itu.

Resminya Raphael adalah mahasiswa Eindhoven University of Technology, Belanda. Dia menempuh program master dalam bidang arsitektur. "Saya ke ITS untuk meneliti tentang permukiman. Kebetulan, tesis saya tentang itu," jelasnya.

Pria asal Middelberg ini sudah 2,5 bulan menjadi "mahasiswa" ITS. Dia mengaku tertarik dengan kiprah laboratorium ITS yang berpartisipasi dalam rekonstruksi Aceh dengan membuat model permukiman bagi korban bencana tsunami itu.

Sebelum memilih ITS, Raphael mengaku menjajaki beberapa perguruan tinggi di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara untuk dijadikan objek penelitian. Dia sempat ke ITB (Institut Teknologi Bandung) dan NUS (National University of Singapore). "Tapi, saya rasa laboratorium ITS yang terbaik. Makanya, saya lalu ke sini," katanya.

Di ITS Raphael akan mempelajari teknologi konstruksi yang inovatif, khususnya untuk permukiman. Juga bagaimana penerapan teknologi itu di daerah bencana seperti di Aceh. "Saya pelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teknologi konstuksi di daerah bencana," tukas pria kelahiran 10 Maret 1980.

Raphael mengatakan, teknologi yang diterapkan ITS di Aceh termasuk cukup baik. Namun, teknologi itu tidak bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. "Makanya, di masa mendatang, saya ingin buat konstruksi yang lebih baik lagi," ungkap lajang bertubuh atletis ini.

Belajar di ITS diakui Raphael sangat menyenangkan. Dia menilai semua orang di sekelilingnya sangat ramah dan baik hati. Banyak bantuan didapat ketika dia mengerjakan tesis di laboratorium ITS.

Bagi Raphael, kunjungannya ke Indonesia kali ini yang kelima. Dia mengaku mendapatkan banyak hal baru dari studi plus-nya kali ini. Dia jadi mengerti bagaimana kondisi Indonesia yang sebenarnya, juga betapa eksotiknya negeri ini. "Indonesia so beautiful. Saya sudah ke Bali, Jakarta, Jogja, dan besok (hari ini, Red.) ke Malang," akunya.

Saking enjoy tinggal di sini, Raphael sampai tidak merasakan kerinduannya kepada kampung halamannya. "Di sini sangat hangat. Tidak seperti di Belanda yang dingin. Di sana, ke mana-mana harus pakai jaket tebal," ungkapnya

Bagaimana dengan Surabaya? Raphael mengaku sebenarnya tidak begitu suka dengan kondisi kota ini. Alasannya, kota kedua terbesar di Indonesia ini terlalu crowded. Macet di mana-mana dan polusi udaranya sangat tinggi. Berbeda dengan tempat tinggalnya di Belanda, Middelberg. "Kalau disuruh pilih tinggal di kota mana di Indonesia, saya tidak akan pilih Surabaya," tuturnya.

Meski begitu, Raphael mengaku menyukai beberapa makanan khas Surabaya. Gado-gado dan mie goreng menjadi makanan favoritnya. "Semuanya makanan sudah saya coba. Saya sering sakit perut karena makanannya pedas. Yang paling saya suka adalah gado-gado dan mie goreng," ucapnya.

Raphael juga tengah getol mempelajari bahasa Jawa, selain bahasa Indonesia. Dia sudah bisa melafalkan beberapa kosa kata dalam bahasa Jawa. "Ora opo-opo. Arep nang endi," kata Raphael sembari tertawa lepas.

Sementara itu, Fakultas Teknik Sipil ITS mendapat "tamu" dari University of California Los Angeles (UCLA). Mahasiswa itu bernama Ashok Das. Di salah satu universitas ngetop di Amerika itu, pria asal India ini tengah menempuh studi doktor di bidang perencanaan kota.

Sama dengan Raphael, di ITS Ashok juga belajar tentang permukiman. Bedanya, dia mempelajari KIP (Kampoeng Improvment Program) Komprehensif. Dia ingin membandingkan model program pembangunan permukiman yang dikembangkan ITS itu dengan di negara asalnya, India. "Saya akan membandingkan KIP dengan SLAM Network Project di Ahmedabbad, India," kata Ashok.

Kenapa memilih ITS? Ashok bercerita, konsep KIP yang diterapkan ITS di bidang permukiman cukup terkenal. Konsep itu dikenal hingga ke tempatnya menimba ilmu, UCLA. "Makanya, saya memilih meneliti di sini (ITS, Red.)," ungkapnya.

Selain itu, alasan penelitian di ITS karena kondisi Surabaya yang mirip dengan kota tempat tinggalnya di Guwahati, Provinsi Assam, India. "Kota saya mirip dengan Surabaya. Jadi, saya rasa penelitian yang saya lakukan relevan," ujar pria kelahiran 27 Juni 1973 ini.

Berbeda dengan Raphael, Ashok lebih cepat beradaptasi dengan Surabaya. Meski baru 1,5 bulan, dia sudah bisa berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia walau belum lancar. "Kalau bahasa Jawa tidak terlalu bisa. Karena rumit," ucapnya.

Saking akrabnya dengan Surabaya, Ashok juga tak canggung lagi ketika bepergian dengan angkot. "Saya selalu naik angkot ke mana-mana. Sampai hari ini belum pernah tersesat. Jalan-jalan di Surabaya mirip dengan India," akunya.

Ashok mengaku suka dengan Surabaya. Namun, jika disuruh memilih tempat tinggal di Indonesia, dia memilih Jogja. Sebab, menurut dia, kota Gudeng itu sangat eksotis. Terutama bentuk bangunannya. "Saya kan seorang arsitektur. I like Borobudur temple, Prambanan temple and other place in Jogja. So, beautiful," kata pria yang doyan makan masakan Padang ini.

Karena banyak persamaan dengan India, Ashok mengaku tak keberatan jika suatu hari bekerja dan tinggal di Indonesia. "Di sini saya bisa makan macam-macam makanan. Nasi padang, tempe penyet, nasi bebek sama lontong balap," pungkas sembari tertawa. (hafid abdurahman)

Berita Terkait