Saat musim hujan seperti ini sudah bukan pemandangan yang asing bila kita menemukan areal-areal yang tergenang air seperti pelataran BAAK,pelataran gedung perpustakaan, bahkan di plaza Dr. Angka. Bahkan di beberapa tempat, hujan deras yang turun meninggalkan jejaknya dengan genangan-genangan air yang luas layaknya sebuah danau. Tidak cukup sampai disitu, beberapa motor harus rela mogok karena banjir yang menghadang.
Memang ini bukan permasalahan yang sangat signifikan, tetapi kejadian seperti ini meninggalkan pertanyaan yang cukup besar; bukankah ITS tempat berkumpulnya ahli drainase, Teknik Sipil, dan perencana-perencana bangunan yang handal?
***
Belum lama ini, sebuah televisi swasta menayangkan sebuah liputan tentang pemanfaatan air daur ulang pada tempat wudlu di Masjid Salman ITB. Saya sempat terkagum sekaligus sedih. Saya berpikir bahwa dengan daya kreativitasnya mahasiswa ITB mampu mengamalkan ilmu yang diterimanya. Pemanfaatan air daur ulang untuk wudlu mungkin bukan prestasi besar, tetapi hal itu dapat menjadi langkah yang besar di kemudian hari. Bayangkan saja, jika sehari saja konsumsi air di Masjid Salman bisa mencapai ratusan kubik setiap kali waktu shalat, maka dengan upaya ini, mahasiswa ITB bisa lima kali menghemat air setiap harinya. Bayangkan jika teknologi tepat guna ini diaplikasikan di Masjid Manarul Ilmi ITS
Sayangnya, selama ini civitas ITS hanya terobsesi pada pengembangan teknologi yang hi-tech yang diharapkan mempunyai nilai jual dan bisa mendongkrak prestise ITS secara nasional. Hingga saat ini, tolok ukur paradigmatik yang digunakan adalah: sejauh mana kamu bisa mendongkrak nama ITS di mata nasional? Bahkan demi memuluskan paradigma itu civitas ITS beramai-ramai untuk membuat spanduk yang mengabadikan prestasi yang diraih para mahasiswa di tingkat nasional maupun internasional. Sebaiknya, kita harus segera merubah cara berpikir seperti itu. Dikhawatirkan nantinya para mahasiswa hanya berpikir bagaimana cara agar berprestasi di tingkat yang tinggi daripada harus menyisihkan tenaga untuk baktinya kepada ITS.
***
Bisa dikatakan bahwa civitas ITS belum bisa mengaplikasikan ilmunya secara institusional. Kebanyakan mahasiswa ITS pada umumnya belum jeli melihat celah-celah ini. Padahal sebenarnya sumbangan pemikiran dan tenaga merekalah yang menentukan wajah ITS kedepan. Mengapa tidak jika nantinya civitas ITS dapat memberikan solusi untuk memenuhi kebutuhan listrik institut tanpa harus bergantung pada PLN, atau dapat mengelola banjir tahunan ini sebagai sumber air yang potensial, atau menjadikan ITS sebagai salah satu produsen oksigen yang besar bagi kota Surabaya, atau menjadikan kampus ITS bebas dari sampah misalnya. Banyak celah yang terlihat di sekitar kita, hanya saja kita tidak tahu, siapakah nantinya yang dapat memulai revolusi ilmu pengetahuan di kampus ITS tercinta ini.
Mungkin selama ini banyak wacana yang bergulir mengenai hal ini, tetapi pemikiran ini hanya akan menjadi apabila tidak ada satu langkah nyata yang diwujudkan melalui kerjasama antar stake holder ITS. Belum lagi visi ITS kedepan adalah mencetak kualifikasi lulusan yang dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi masyarakat, maka wacana institusionalisasi ilmu pengetahuan di ITS ini bisa dijadikan sebagai kawah candradimuka untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diterima.
Ayos Purwoaji
Penulis adalah mahasiswa Desain Produk
Kampus ITS, ITS News — Sampah plastik sampai saat ini masih menjadi momok yang menghantui lingkungan masyarakat. Untuk mengatasi
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang