ITS News

Minggu, 29 September 2024
23 Februari 2006, 19:02

PKL Dapat Pecahkan 10 Persen Kemiskinan Kota

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Demikian terungkap dalam acara bedah dua buku karya Dr Ir Alisjahbana MA yang diselenggarakan oleh Jurusan Perencanaan Wilayah Kota ITS (PWK-ITS) di Rektorat ITS, Rabu (22/2) siang. Dua buku yang dibedah masing-masing berjudul Marginalisasi Sektor Informal Perkotaan dan Sisi Gelap Perkembangan Kota.

Dalam pandangan Ir Putu Rudy Satiawan MSc yang membahas buku tersebut mengatakan, apa pun yang akan dilakukan oleh Pemkot untuk mencari jalan keluar terbaik dalam menata PKL tidak akan bisa berjalan sempurna manakala dikotomi tentang PKL masih terjadi. ”Harusnya Pemkot mau mengubah paradigma tentang PKL yang selama ini dianggap membuat kumuh dan sulit diatur. Saatnya pandangan itu diubah, PKL itu merupakan potensi kota yang harus dikembangkan secara bersama-sama, tidak perlu diperangi demikian juga PKL tidak perlu melawan atau memerangi Pemkot,” katanya.

Mengkritisi tentang isi buku yang ditulis Alisjahbana, Putu menjelaskan, kalau apa yang tersaji dalam buku itu terlalu banyak memuat data-data kualitatif, sehingga terkesan sebuah riset yang bertujuan hanya untuk mengumpulkan data-data kualitatif, sementara di beberapa bahasan muncul pengulangan yang terkesan mubazir.

”Di sisi lain ada kata-kata lokal yang sangat kental muncul. Padahal jika buku ini diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia, kata-kata itu belum banyak dimengerti masyarakat di luar Surabaya atau Jawa Timur, seperti kata-kata obrakan, eker-ekeran, dan lainnya. Tapi apa pun yang telah dihasilkan Pak Ali merupakan sesuatu yang bisa menambah pengetahuan kita tentang sektor informal terutama PKL,” kata Putu.

Faktor Budaya
Pada bagian lain diskusi itu juga terungkap tentang perlunya memperhatikan faktor budaya didalam menata PKL. Kadaruslan, tokoh Surabaya yang juga Ketua Pusura Surabaya mengatakan, ada budaya malas di masyarakat kita yang menyebabkan persoalan PKL menjadi berlarut-larut, tidak bertemu jalan keluar. ”Budaya malas itu bukan hanya pada PKL yang enggan memelihara ketertiban dan kebersihan di lokasi mereka tapi juga para birokrasi yang juga malas, tidak mau memberi peringatan atau melakukan tindakan ketika sebuah lokasi masih dihuni oleh satu-dua PKL. Kalau sudah banyak dan mengundang masalah baru ditindak,” katanya.

Sebenarnya, kata Kadaruslan menambahkan, PKL erat kaitannya dengan persoalan pengangguran dan kemiskinan, karena itu sudah saatnya Pemkot melakukan penataan dan memberikan jalan keluar, tidak hanya melakukan obrakan.

Sementara Alisjahbana mengatakan, di lapangan, memang sering ditemukan pemikiran-pemikiran PKL yang dapat menemukan jalan keluar persoalan mereka. ”Misalnya ketika saya berbicara dari hati ke hati, mereka mengungkapkan, kenapa Pemkot harus buang-buang uang untuk melakukan obrakan, serahkan saja kepada mereka biaya operasional obrakan itu kepada PKL untuk menata mereka, kan selesai masalahnya,” kata mantan Sekkota Surabaya ini menirukan ucapan para PKL.

Pemikiran itu, kata Alisjahbana, memang ada benarnya, tapi persoalannya Pemkot ketika membicarakan persoalan PKL tidak pernah mengikutsertakan mereka, sehingga beberapa kebijakan penanganan PKL selalu menemukan perlawanan. ”Kini sudah saatnya baik Pemkot maupun PKL duduk bersama-sama membicarakan persoalan terbaik untuk kepentingan bersama. Saya yakin jika ini dilakukan hasilnya akan nyata terlihat. Harapan saya, melalui buku ini tidak akan ada lagi saling tuding dan menyalahkan bagaimana seharusnya menangani PKL,” katanya.(humas/asa)

Berita Terkait