ITS News

Senin, 30 September 2024
20 Maret 2006, 16:03

Penderita Tunarungu, Safrizul Kamil Selesaikan S-2 di ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Senyum mengembang di bibirnya ketika Kamil ditemui di gedung rektorat ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) pekan lalu. Saat itu dia sedang mengurus administrasi wisuda. Istrinya, Nunung Setyawan, 31, dan putrinya yang masih dalam gendongan, Azizah Zahra, ikut mendampingi.

Secara fisik, Kamil tak berbeda dengan pria lain. Postur tubuhnya cukup ideal dengan kumis rapi menghiasi wajah. Ketika diajak bicara pun nyambung, bahkan menjawab dengan hangat. "Memang, jika menggunakan alat bantu ini, pendengaran saya normal. Tapi, jika dilepas, saya tak bisa mendengar apa-apa," katanya dengan suara agak gagap.
Di telinga kanan Kamil memang menggantung sebuah alat bantu dengar. "Waktu kecil alat bantu itu ada di dua telinga saya," tuturnya dengan logat Sunda yang kental. Dia mengganti alat itu kali terakhir pada 1997 yang dibelinya dengan harga Rp 1.500 ribu. "Sekarang harganya sekitar Rp 4 Juta. Makanya, saya pikir-pikir untuk beli lagi." ujar Kamil.

Gangguan pendengaran di telinga pegawai Pemkab Indramayu itu bukan bawaan. Tapi, karena terjatuh dari tempat tidur waktu kecil. Dia sempat opname beberapa minggu. Setelah itu Kamil kecil sering demam dan lambat laun pendengarannya terganggu.

Gangguan itu sedikit banyak berpengaruh pada cara belajarnya. Di sekolah dulu maupun saat menempuh kuliah S-2 di ITS. "Jika pelajaran dimulai, saya berusaha lebih fokus pada penjelasan dosen," katanya. Sebab, meski mendengar, kadang suara dosen kurang jelas. Dia juga selalu memilih kursi paling depan agar lebih jelas mendengar suara dosen.

Untungnya, para dosen ITS umumnya melengkapi kuliahnya dengan visualisasi multimedia sehingga sangat membantu. "Itu pas kuliah. Waktu sekolah dulu lebih sulit," katanya.

Sebab, selain tidak ada guru yang tidak menggunakan visualisasi, situasi di kelas juga sering ramai. Akibatnya, meski sudah berusaha fokus pada guru pun, Kamil masih sering kesulitan menerima pelajaran. "Kalau sudah begitu, saya biasanya berusaha mencerna ucapan guru dengan cara mengamati gerak bibir," tutur pria berhidung mancung itu. "Saya sudah lumayan paham dengan bahasa bibir. Pengetahuan itu saya dapatkan waktu duduk di SLB," sambungnya.

Kamil memang pernah mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa (SLB). Yakni, saat TK dan SD. Sedangkan SMP dan seterusnya di sekolah normal. Dalam situasi tertentu, kemampuan membaca gerak bibir itu juga kadang digunakan ketika kuliah di ITS.

Dengan kekurangannya itu, pria kelahiran 11 April 1966 tersebut ternyata tak kalah dengan mahasiswa lain. Bahkan, beasiswa dua tahun dari Departemen Pekerjaan Umum (PU) mampu ditempuh lebih cepat setengah tahun. "Saya memang dituntut untuk bisa cepat. Sebab, beasiswa yang saya terima hanya selama dua tahun," ujarnya. "Kalau lebih dua tahun harus bayar sendiri," tambahnya sambil tertawa.

Yang sedikit membuatnya deg-degan adalah ujian TOEFL (test of english as foreign language) sebagai salah satu syarat kelulusan di ITS. Dia sempat gagal dalam tes Bahasa Inggris ini. "Saya gagal saat tes listening. Sedangkan tes tulis dan baca saya masih bisa," ujarnya. Namun, akhirnya Kamil mampu meraih skor TOEFL 477.

Kini, dia siap-siap kembali dinas di Kantor Lingkungan Hidup Pemda Indramayu. "Jika dizinkan, saya ingin melanjutkan kuliah. Kalau bisa ke Australia," harapnya.

Putra pasangan H Karman dan Hj Milah itu memang punya semangat belajar tinggi. Seusai tamat SMA 9 Bandung, dia melanjutkan ke D-3 Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) di kota yang sama. Begitu lulus, langsung alih jenjang ke Program S1 Jurusan Teknik Lingkungan di Universitas Sahid Jakarta.

Pada 1995 dia berhasil meraih gelar sarjana. Dua tahun kemudian dia diangkat menjadi PNS. Di sela-sela kesibukannya sebagai PNS, dia sempat ikut Program D-1 Komputer. "Sejak dulu, suami saya suka membaca. Berbagai buku dia punya," ujar Nunung sambil menimang sang bayi. Salah satu oleh-olehnya yang dibawa pulang nanti adalah tiga kwintal buku.

Sebagai suami, Kamil sangat pengertian dan lemah lembut. "Umumnya orang tuna rungu kan tempramental dan mudah tersinggung. Tapi, dia tidak. Terhadap anak juga demikian sangat perhatian dan hati-hati dalam mendidik," ujarnya.

Nunung dan Kamil sudah pasrah pada cacat pendengarannya itu. Berbagai cara sudah dialakukan untuk menyembuhkan kekurangan itu. Terakhir, dia sempat ditawari untuk melakukan cangkok koklea oleh dokter THT. Tapi, tak dilakukan karena risikonya besar. "Apalagi, keluarga juga melarang saya untuk operasi," kata Kamil. (aris imam masyhudi)

Berita Terkait