Isu tentang formalin mungkin sudah mulai surut. Tapi upaya dari Dra Sukesi MSi, Dosen Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITS, untuk mengurangi kandungan formalin dalam makanan yang telah diawetkan dengan formalin, kiranya bisa dimanfaatkan. Apalagi cara yang ditawarkannya boleh dibilang tanpa biaya tambahan, hanya bagaimana cara memperlakukan bahan makanan itu sebelum dikonsumsi.
“Saya tertarik untuk mencoba mencari bagaimana mengurangi kadar formalin dalam makanan semata karena ternyata penggunaan bahan pengawet yang di larang itu sudah sedemikian memasyarakat,” katanya. Ia menambahkan, tanpa jalan keluar yang jelas, akan banyak produsen makanan seperti mie, ikan asin, tahu dan lainnya, yang selama ini dituduh kerap menggunakan formalin sebagai bahan pengawet, akan terpukul dan omsetnya akan turun.
“Ini bisa dilihat ketika isu formalin beberapa waktu lalu menjadi bahan pemberitaan utama di berbagai media, keluhan produsen mie, ikan asin, bakso, tahu dan lainnya terimbas, meski mungkin mereka tidak menggunakan formalin sebagai bahan pengawet,” katanya.
Atas latar belakang itulah, ibu dua orang anak ini menjelaskan, ia tertarik untuk mencoba menghilangkan kadar formalin yang memang sudah terlanjur ada di makanan. “Kebetulan tiga tahun lalu saya bersama beberapa teman dosen melakukan penelitian tentang bagaimana upaya untuk menghilangkan atau menurunkan kadar formalin dalam ikan asin. Hasilnya hanya dengan beberapa cara penanganan dan tidak memerlukan biaya besar, kadar formalin dalam ikan asin dapat diturunkan hingga 99 persen lebih,” katanya.
Kemudian, kata dosen kelahiran Surabaya, 5 Maret 1963 ini, ia bersama beberapa tim dosen di Kimia terdorong untuk mencoba mencarikan alternatif pada bahan makanan lain yang selama ini ditengarai menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. ”Dalam penelitian yang kami lakukan, ada benarnya memang kekhawatiran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi seperti mie, ikan asin, tahu dan lainnya, karena pada kenyataannya bahan-bahan itu cukup banyak mengandung formalin. Tapi apakah dengan tidak mengkonsumsi bahan makanan, itu menjadi jalan keluar terbaik?” kata Sukesi bernada tanya.
Rasanya tidak, kata Kesi, demikian ia biasa dipanggil, menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri. Ini karena didalam industri makanan itu banyak terdapat orang yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil produksi makanan tadi. ”Karena itulah saya mencoba mencarikan jalan keluar terbaik, murah dan aman untuk mengkonsumsi makanan yang memang sudah terlanjur menggunakan formalin. Harapannya cara yang telah saya lakukan melalui penelitian beberapa kali di laboratorium ini akan memberikan jawaban dan jalan keluar terbaik, bukan hanya bagi para produsen tapi juga bagi ibu rumah tangga yang selama ini dihantui rasa ketakutan berlebih terhadap bahan makanan yang mengandung formalin,” katanya.
Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kadar formalin atau deformalinisasi? Cukup mudah, Kesi menjelaskan, untuk proses deformalinisasi ikan asin misalnya, dapat dilakukan dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam tiga macam larutan, yakni air, air garam dan air leri. ”Perendaman dalam air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin sampai 61,25 persen, dengan air leri mencapai 66,03 persen, sedang pada air garam hingga 89,53 persen. Ini artinya hanya dengan perlakuan dan pengetahuan yang baik sebelum dikonsumsi, kadar formalin akan hilang,” katanya.
Memang, tambahnya, kita tidak dapat menghilangkan hingga 100 persen kadar formalin yang ada. Tapi paling tidak dengan makin berkurangnya kadar formalin dalam bahan makanan itu, maka untuk mengkonsumsinya relatif aman. ”Saya tidak mengatakan formalin itu aman digunakan sebagai pengawet, tapi mengurangi kadar formalin dalam bahan makanan yang mengandung formalin menjadi penting untuk diketahui dan dipahami,” katanya.
Bagaimana dengan tahu? ”Sedikitnya ada tiga cara penanganan untuk mengurangi kadar formalin, direndam dalam air biasa, dalam air panas, direbus dalam air mendidih, dikukus kemudian direbus dalam air mendidih dan diikuti dengan proses penggorengan,” katanya.
Hasilnya, katanya melanjutkan, berbeda-beda, terbaik merebusnya dalam air mendidih kemudian diikuiti dengan proses penggorengan. ”Sedang untuk mie proses deformalinisasi terbaik adalah dengan cara merendam dalam air panas selama 30 menit, dimana hasilnya dapat menghilangkan kadar formalin hingga mencapai 100 persen. Adapun pada ikan segar, dapat dilakukan dengan merendam dalam larutan cuka 5 persen selama 15 menit,” katanya.
Sukes akan mencoba membuat apa yang telah dilakukan dalam penelitian deformalinisasi ini dalam bentuk brosur praktis agar masyarakat dengan mudah melakukannya. ”Kami sedang mencari sponsor untuk menyebarluaskan hasil penelitian ini sebagai bahan untuk penyuluhan kepada masyarakat. Harapannya melalui brosur itu masyarakat akan makin tentang dengan isu-isu formalin, karena ternyata dapat dikurangi kadarnya,” katanya. (Humas/rin)
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)
Kampus ITS, ITS News — Tim Spektronics dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali sukses mendulang juara 1 pada ajang
Kampus ITS, ITS News — Kurang meratanya sertifikasi halal pada bisnis makanan khususnya pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM),
Kampus ITS, ITS News — Perayaan Dies Natalis ke-64 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) telah mencapai puncaknya di Graha Sepuluh