ITS News

Sabtu, 28 September 2024
02 Mei 2006, 17:05

ITS Juarai Lomba Pemikiran Kritis Tingkat Nasional

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Keberhasilan dua mahasiswa ITS ini memang di luar dugaan, mengingat ITS baru pertama kali mengikuti lomba PPKM. Ditambah peserta dari perguruan tinggi lainnya tergolong berpengalaman dalam lomba semacam itu. “Tapi syukur alhamdulillah, kami bisa mengukir prestasi dan memenangkannya. Ini membuktikan bahwa mahasiswa ITS juga tidak hanya terpaku dan memikirkan bidang ilmunya saja,” kata Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Dr Ir Achmad Jazidie MEng, Selasa siang (2/5).

PPKM sendiri diikuti 33 peserta dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta yang dibagi dalam tiga bidang, masing-masing Bidang Kesejahteraan Rakyat (15 tim), Bidang Polkam (8 tim), dan Bidang Ekonomi (10 tim). ITS mengirimkan dua tim, semuanya untuk bidang Kesejahteraan Rakyat. “Awalnya kami mengirim para mahasiswa itu untuk ajang latihan dan penjajakan agar bisa ikut tahun depan, tapi kemudian ditakdirkan menang. Sungguh ini merupakan prestasi bagi mahasiswa kami yang luar biasa, mengingat peserta lainnya termasuk dari perguruan tinggi yang memang telah terasah untuk mengemukakan pendapat dan mengkirtisi kebijakan-kebijakan pemerintah, sebagai mana yang diharapkan dalam lomba itu,” katanya.

Bagaimana perasaan Aulia dan Nugroho yang berhasil menjadi jawara PPKM? ”Awalnya kami juga tidak menyangka bakal menang, mengingat penampilan peserta lainnya tidak kalah baiknya dengan kami. Tapi mungkin, materi yang kami sajikan benar-benar pas dan menarik bagi para juri. Buktinya waktu presentasi para juri meminta tambahan waktu untuk mengajukan pertanyaan kepada kami,” kata Aulia, mahasiswa Teknik Sipil, angkatan 2003 ini.

Terinpirasi Pembantu
Pemikiran kritis apa yang dikemukakan kedua mahasiswa ITS ini? ”Kami mengkritisi ketidakkonsistenan Pemkot Surabaya dalam mengatasi penggunaan lahan ilegal untuk pemukiman,” kata Nugroho. Keterangan ini diperkuat Aulia.

Menurut mahasiswa kelahiran Surabaya, 3 Januari 1986 ini, materi yang dikritisinya terinspirasi dari seorang pembantunya yang membeli rumah di lahan pinggir kali berukuran sekitar 4 x 6 meter dengan harga hanya 2,5 juta rupiah. ”Saya saat itu berpikir bukankah di sepanjang bantaran sungai ada jarak minimal yang tidak boleh dibangun, tapi kenapa pembantu saya bisa memiliki rumah itu,” kata mahasiswi cantik ini.

Dari situlah, Ia dan Nugroho mengawali observasi dengan menelusuri permukiman yang berada di bantaran kali di Surabaya. ”Saya kemudian menyimpulkan Pemkot Surabaya ternyata tidak konsisten di dalam mengatasi penggunaan lahan di sepanjang bantaran kali yang ada di Surabaya. Dalam aturan jelas dinyatakan bahwa di daerah bibir sungai jarak minimal yang bisa didirikan bangunan minimal 15 sampai 25 meter. Tapi nyatanya ada banyak bangunan dan permukiman yang berdiri kurang dari itu. Bahkan sebuah bengkel resmi sepeda motor berdiri megah di bantaran sungai,” kata Nugroho, mahasiswa kelahiran Malang, 26 September 1986 ini.

Ini artinya, kata Aulia menimpali pembicaraan Nugroho, Pemkot pasti telah memberikan izin untuk mendirikan bangunan itu, padahal daerah itu termasuk yang di larang berdiri bangunan. ”Bukan hanya itu, penduduk yang berada di sepanjang bantaran sungai sebagai lahan ilegal atau lahan milik negara itu juga dinaungi oleh RT dan RW dan mereka memiliki KTP. Semestinya jika Pemkot konsisten melarang adanya permukiman di sepanjang bantaran sungai, keberadaan mereka tidak perlu dinaungi dengan dibentuknya RT dan RW serta diberikan KTP,” kata Aulia.

Tapi Aulia dan Nugroho memaklumi masyarakat yang bermukim di sana, mengingat Pemkot Surabaya ternyata tidak transparan dalam mengkomunikasikan aturan-aturan yang berkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH), sehingga bantaran sungai atau kali yang peruntukannya sebagai kawasan RTH kemudian dilanggar karena ketidaktahuannya.

”Waktu kami melakukan observasi dan meminta RTRW ke dinas tata kota sebagai bahan lomba ini, dengan surat ketua jurusan saja ditolak, mereka meminta yang membuat surat harus rektor, dan ketika rektor yang menandatangani surat itu, juga masih diproses cukup lama dan harus minta rekomendasi ke walikota. Padahal aturannya RTRW itu milik publik yang bisa diketahui oleh umum agar masyarakat tidak menyalahi peruntukan,” kata Aulia.

Ke depan, saran Aulia dan Nugroho, Pemkot Surabaya harus lebih tegas lagi, agar dalam menegakkan aturan itu. Tentu saja tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemkota, karena sepengetahuan mereka, rumah-rumah di daerah terlarang atau ilegal itu, juga dilengkapi fasilitas listrik dari PLN, telepon dari Telkom, dan juga air bersih bantuan dari Pemkot. ”Fasilitas-fasilitas itu sangat bertolak belakang dengan aturan-aturan yang melarang mereka bermukim di situ,” katanya. (Humas/rin)

Berita Terkait