ITS News

Minggu, 29 September 2024
09 Mei 2006, 18:05

Jatim Butuh 10 Ribu Lebih Ahli K3

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dunia industri di Jatim hingga dua tahun ke depan, sedikitnya membutuhkan sepuluh ribu lebih tenaga kerja di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Kebutuhan ini bukan semata untuk memenuhi ketentuan undang-undang ketenagakerjaan, tapi lebih pada kesadaran agar produk yang dihasilkan oleh industri tersebut dapat diekspor.

Demikian dikemukakan Heroe Soebandrijo, Kasi Keselamatan Kerja Subdin Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Jatim, di sela acara, Workshop Ahli K3 Umum dan Welding Inspector, yang diadakan oleh Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS) ITS bekerja sama dengan Depnakertrans dan Departemen Energi Sumber Daya Mineral, Selasa siang (9/5).

”Kesadaran dunia industri di Jatim untuk memiliki tenaga kerja di bidang K3 dipicu oleh ketatnya aturan barang-barang ekspor yang mewajibkan mencantumkan tentang aturan K3 yang diminta pembeli di luar negeri. Ini menjadi persyaratan mutlak dan harus dipenuhi jika tidak ingin kehilangan pasar di luar negeri,” katanya.

Menyinggung tentang angka sepuluh ribu lebih kebutuhan tenaga kerja di bidang K3 di Jatim, Heroe menjelaskan, kini di Jatim, dari 26 ribu perusahaan, dimana 15 ribu diantaranya berkategori industri menengah-besar, hanya memiliki tenaga ahli bidang K3 kurang dari 200 orang. ”Ini artinya, peluang untuk memilih bidang keahlian itu masih terbuka lebar. Disnaker sendiri kini sedang mensosialisasi dan mendorong agar erusahaan-perusahaan sedapat mungkin memiliki tenaga ahli K3, bukan semata untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan, tapi kedepannya juga untuk kepentingan perusahaan itu sendiri agar bisa bersaing di pasar global,” katanya.

Diungkapkan Heroe, banyak kalangan industri keliru dalam memahami sertifikat K3 yang harus dimiliki mereka untuk kepentingan ekspor. Mereka meminta sertifikat langsung dari Disnaker, padahal yang dimaksud adalah jaminan dari industri itu tentang K3 dari para staf dan pekerjanya dalam proses pembuatan barang-barang yang dieskpor, dan juga bagaimana K3 terhadap produknya. Ini dapat dibuktikan antara lain dengan adanya tenaga kerja yang memang khusus membidangi K3.

”Tapi banyak industri ingin jalan pintas, meminta sertifikat K3 ke Disnaker, dan itu tidak saya layani, karena memang bentuknya bukan sertifikat yang dikeluarkan oleh Disnaker, tapi sertifikat dari Disnaker kepada individu tenaga kerja yang menunjuk seseorang itu bekerja di sebuah industri atau perusahaan,” katanya menjelaskan.

Pemahaman ini, tambah Heroe, yang masih belum dimiliki oleh kalangan industri dan pengusaha, juga oleh para pekerja yang memiliki sertifikat K3. ”Sertifikat itu memang bersifat indivudual, tapi tidak bisa digunakan disembarang perusahaan atau industri, karena selain bersifat individual, sesungguhnya sertifikat itu juga menunjuk dimana pemilik sertifikat itu bekerja. Ini artinya, jika pekerja yang memiliki sertifikat itu pindah ke industri atau perusahaan lain, maka ia wajib untuk mengurus kembali ke Disnaker,” katanya.

Kurangnya kesadaran akan pentingnya K3 dalam dunia industri, dapat dilihat dari jumlah peserta workshop. Menurut Ketua penyelenggara, Rachmad Tri S ST MT, dari dua workshop yang diselenggarakan itu, peserta terbanyak adalah yang mengikuti welding inspector (39 orang) sedang peserta K3 sebanyak 28 orang. ”Untuk workshop welding inspector ini merupakan bentuk kepedulian Politeknik Perkapalan dalam mendukung penyediaan sumber daya manusia kompeten dengan kualifikasi yang dibutuhkan dunia industri yang terus berkembang pesat. Sedang untuk K3 bertujuan untuk menyiapkan tenaga ahli K3 yang handal, sehingga mampu bertindak sebagai problem preventer dalam upaya meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan kerja,” katanya. (Humas/rin)

Berita Terkait