ITS News

Minggu, 29 September 2024
18 Mei 2006, 09:05

Mitigasi Bencana dimulai di Rencana

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana mulai popular saat diterapkan di Aceh. Cetak biru terbaru pembangunan Serambi Mekah Indonesia ini dibuat berdasarkan mitigasi bencana Tsunami. Wacana rencana seperti ini makin popular saat bencana alam beruntun melanda Indonesia. Setelah Tsunami di Aceh dan Nias, banjir bandang menghancurkan Jember dan Trenggalek. Kejadian tersebut menyadarkan kembali manusia Indonesia akan perlunya rencana tata ruang sebagai upaya antisipasi bencana. Revitalisasi peran rencana tata ruang ini melatarbelakangi Himpunan Mahasiswa Perencanaan wilayah dan Kota ITS (HMPL) mengadakan seminar nasional bertema, Inovasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang sebagai Instrumen Mitigasi Bencana, Rabu (17/5).

Selain Salusra Widya, Staf Ahli Tata Ruang Bappenas, yang menjadi pembicara pertama, Kepala Bapppenas H. Paskah Suzetta, didapuk selaku Keynote Speaker. Namun Paskah ternyata tidak bisa hadir pada seminar yang dihadiri puluhan peserta ini. Meski demikian, Paskah masih mengirimkan lembaran keynote speech-nya. Dia menggaris bawahi pentingnya pertimbangan yang matang dan menyeluruh dalam konteks pemanfaatan ruang secara nasional.

Paskah mengungkapan di keynote tersebut, "Dewasa ini kita betul-betul dalam kondisi yang boleh dikatakan mendekati tahap survival (cukup kritis,-red)." Di satu sisi, pemanfaatan ruang di Jawa sudah begitu padat dan sarat akan konflik kepentingan pemanfaatan lahan. Daya dukung lingkungan seluruh wilayah pulau pun telah terancam karena saat ini lebih dari 50 persen wilayah kabupaten di Jawa diidentifikasi rawan krisis air (kekurangan air atau kebanjiran). Di sisi lain, terutama luar Jawa, meskipun lahan dan potensi sumber daya alamnya besar, pola pemanfaatan yang tidak hati-hati, bahkan cenderung sewenang-wenang.

Bagi Paskah, tren seperti ini menyimpan sejumlah permasalahan yang berakibat buruk bagi pengembangan wilayah di masa yang akan datang. Seharusnya pembangunan daerah ke depan bukan hanya berorientasi ekonomi yang selalu menganggap mitigasi bencana sebagai biaya yang harus dikeluarkan. Biaya mitigasi bencana adalah investasi negara. Jika tidak, tragedi Tsunami, longsor TPA, dan banjir bandang akan terulang di daerah lain. Sebanyak 126.602 orang meninggal dan 93.638 jiwa hilang saat Tsunami di Aceh dengan kerugian materil 41,401 triliun rupiah, hanya dalam 30 menit.

Melihat kenyataan tersebut, Salusra menambahkan, "Biaya mitigasi bencana memang akan dihitung sebagai biaya di awal, tapi jika tidak dikeluarkan biaya tersebut saat itu juga, harga yang dibayar di masa depan akan jauh lebih mahal." Salusra membuka seminarnya dengan mengkritisi tema seminar ini. Baginya inovasi untuk mitigasi bencana itu bukan saat pengendalian pemanfaatan tetapi dimulai saat rencana. "Seharusnya inovasi untuk mitigasi bencana itu dimulai sejak rencana."

Memang, menurutnya, aspek pengendalian pemanfaatan ruang telah menjadi perhatian utama dalam pembangunan. Karena fungsinya yang mengarahkan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Tetapi pengendalian hanyalah satu dari tiga bagian perencanaan. "Hal ini terkait dengan tiga bagian perencanaan, yaitu rencana, pemanfaatan, dan pengendalian. Rencana itu baik kalau pemanfaatan dan pengendalianya sesuai dengan apa yang direncanakan," jelas Salusra.

Penyakit utama dalam pengendalian tata ruang di Indonesia adalah tidak adanya sanksi pidana bagi pelanggar. Inovasi rencana, menurut alumnus Planologi ITB ini, sudah dicontohkan oleh Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Aceh dan Kepualauan Nias Provinsi Sumatra Utara (Rencana Induk R2KWANS). Rencana ini berbasis mitigasi bencana. Salusra memberikan contoh, "Di rencana tata ruang Aceh ini sudah ada jalur-jalur pengungsian dan penyelamatan jika bencana Tsunami suatu saat datang."

Tentunya, inovasi rencana tata ruang tidaklah cukup untuk mitigasi bencana, teknologi lainnya juga diperlukan. "Terutama yang dapat menghitung dan mendetekesi bencana kemana arahnya dan berapa besarnya," tambahnya. Karena secara prinsip, penataan ruang hanyalah upaya mewujudkan optimalisasi dan keterpaduan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan yang membutuhkan ruang. Ir Andi Oetomo, MPI, pembicara selanjutnya, menegaskan bahwa recana tata ruang wilayah hanya salah satu alat mitigasi bencana non struktural. Ahli pengendalian ruang dari ITB ini menyebutkan instrumen-instrumen lain mitigasi bencana seperti, penigkatan kesadaran masyarakat, sistem peringatan dini, dan infrastruktur fisik pengalih banjir maupun yang lain. (mac/rin)

Berita Terkait