Perjalanan pulang dari Solo kemarin membawa sebuah kesenangan, bagaimana tidak, di tengah sesak-pengapnya suasana bis ekonomi yang kadang oleng saya masih bisa menyaksikan beberapa senyuman dan tidur yang pulas. Tidak hanya itu, sesampainya di Maospati, saya disuguhi pertunjukan menarik dari sebuah paguyuban seniman yang berasal dari Maospati. Saya pikir pasti ini sebuah pertunjukan pengamen biasa yang hanya berharap recehan dari penumpang. Saya salah, para pengamen ini bukan sekedar pengamen “biasa” yang sekedar membawakan lagu-lagu pop top 40. pengamen-pengamen ini tidak menyanyikan Radja maupun Peterpan, para pengamen Maospati ini mendendangkan lagu tentang kemerdekaan, sosialisme, dan perjuangan klas! Lagu-lagu yang bahkan tidak semua penumpang dapat menikmatinya.
Pengamen-pengamen ini adalah orang-orang yang terdidik, sudah tentu. Buktinya mereka mampu membawakan beberapa istilah seperti pembebasan, klas, alat produksi, bahkan slogan hasta la victoria siempre-nya Che Guevara. Pengamen-pengamen ini juga dengan bebasnya menyuarakan Marsinah hingga Bom Bali II dalam lagu-lagunya. Pengamen-pengamen ini mungkin mewakili semangat Lekra yang juga rajin berbicara mengenai penindasan dan kesetaraan di zaman lampau.
***
Pengamen Maospati ini mulai mengusik pikiran saya, adakah yang salah dengan ideologi? Selama ini ideologi hanya bercokol di kepala orang-orang yang terdidik secara baik. Ideologi menjadi ikon yang seakan untouchable bagi pengamen-pengamen di Maospati. Selama ini masyarakat bawah hanyalah korban yang dikendalikan ideologi, atas nama ideologi mereka bergerak dan berani mati.
Pengamen Maospati membuktikan bahwa saat ini ideologi bukan lagi sebuah barang mahal. Ideologi telah menjadi konsumsi pasar. Pasar yang telah dibentuk dan dicerdaskan oleh gurita media dan rimba raya informasi. Masyarakat bawah saat ini pun mampu untuk mengakses informasi yang sama dengan orang lain yang memiliki strata sosial lebih tinggi. Saat ini manusia bebas memilih ideologinya sendiri. Pilihan bebas ini layaknya kita dihadapkan pada sebuah vending machine, kita bebas memilih dengan beberapa harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi logis pilihan kita.
***
Mungkin, saat ini jauh di Maospati, diatas bis ekonomi jurusan Solo-Surabaya, para pengamen itu masih berlaga. Mengalahkan panas matahari yang mnyengat. Mengalahkan keringat yang sudah tidak dapat ditahan. Mendendangkan lagu tentang kebebasan. Menyuarakan ketidaksetujuan terhadap perbedaan. Demi memuaskan ideologi mereka yang sudah mengakar di kepala.
Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi