ITS News

Jumat, 15 November 2024
19 September 2006, 18:09

Sarjana ITS Kembalilah ke Desa

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pihak otoritas institut juga turut andil menunjang kelengkapan bagi soft skills tersebut bagi mahasiswanya. Tak ada yang salah memang, sangat relevan dengan persaingan dunia kerja kekinian yang menuntuk beribu kompetensi.

Kemudian semua pun berlomba-lomba melengkapi diri agar mendapat pekerjaan yang layak. Berprestasi setinggi-tingginya dengan memanfaatkan masa kuliah untuk membuat  curriculum vitae yang excellent.

Mulai dari mengikuti beragam seminar, aktif di BEM dan himpunan, menjadi trainer hingga sederetan prestasi dari lomba-lomba bergengsi. Menjadikan dirinya approveded the requirement untuk bekerja di perusahaan multi-nasional skala Freeport, Total, Schlumberger, dan sederetan BUMN kelas elite di Indonesia.

Semua hal tersebut memiliki ujung, maaf, untuk memperkaya diri sendiri. Lalu, dimana konsep pejuang yang tak kenal letih membangun negeri" yang diajarkan kepada kita dalam Hymne ITS saat orientasi di awal masa kuliah? Semua berlomba melengkapi ilmu ‘langit’, tanpa berkehendak memiliki ilmu ‘bumi’. Ilmu yang tak sekedar mencapai angan, namun sebuah ilmu kemapanan jiwa untuk lebih menjadikan diri berharga bagi sebanyak-banyak manusia.

Dalam berbagai buku cerita di masa kecil, seorang insinyur selalu digambarkan sebagai anak seorang petani desa yang karena kepandaian dan ketekunannya, ia berhasil kuliah di kota. Usai menjadi sarjana dan sukses, mas insinyur tersebut kembali ke desa dan mengajarkan teknologi terbaru dalam bercocok-tanam kepada tetangga-tetangganya.

Ada yang dengan versi mengajarkan bagimana membuat pembangkit listrik tenaga air, mengenalkan traktor untuk membajak, hingga membuat metode tumpang sari yang mampu memberi keuntungan berlipat bagi petani. Mereka kemudian begitu dipuja dan disanjung oleh tetangganya sebagai anak Pak Amir yang baik hati. Beberapa versi malah akhirnya memberikan mas insinyur itu seorang gadis desa yang ayu jelita yang sangat mengagumi keluhuran budi-pekertinya.

Sebuah keharuan kiranya karena insinyur sebagai pekerja kelas tinggi ini mau bersahaja mengajari masyarakat desa dengan teknologi yang sangat sepele dan mudah baginya. Tak perlu membawa mikrokontroller, artificial intellegence, persamaan differensial, polyester, hingga bahasa pemrogaman Java.

Kemudian muncullah keraguan, "Kalau insinyur kembali ke desa terus mau kerja apa?". Atau "Di desa mana ada perusahaan yang butuh teknologi tinggi, dimana kegunaan kita sebagai insinyur ?". Dan juga "Aplikasi dari mikrokontroller dan teman-temannya yang selama ini dipelajari dengan extra keras dan bertenaga buat apa?".

Dan berakhir dengan "Gak banyak dapat duit ntar?". Sekali lagi ada banyak hal di dunia ini selain memperkaya diri sendiri, yakni bermanfaat bagi sebanyak-banyak manusia. "Idealis ah!" memang. Butuh kemapanan jiwa untuk bisa melakukannya.

Sebuah program Kuliah Kerja Nyata atau yang dikenal dengan KKN dulu pernah diterapkan di ITS. Seperti universitas lain, program ini ditujukan untuk memberi wawasan pengabdian masyarakat kepada mahasiswa. Dalam pelaksanaannya memang didapati kesan tak ada guna selain jalan-jalan dan membantu sekedarnya. Dan dengan berbagai alasan berikut pertimbangan, program tersebut tidak dicanangkan lagi di ITS.

Namun akankah mahasiswa ini terus tidak mengenal arti pengabdian masyarakat? Terus dibumbung tinggi dengan penerapan teknologi palking mutakhir yang harus segera dilahap!

Kiranya harus muncul adanya kesadaran pemberian soft skills yang dapat membuat para teknokrat kita lebih memahami sisi masyarakat sebagai bagian dari kesatuan negara Indonesia ini. Sebagai bagian dari kepedulian kita terhadap bangsa sendiri.

Toh kebanyakan mahasiswa ITS adalah berasal dari daerah-daerah di Jawa Timur, serta Indonesia bagian timur lainnya yang disadari membutuhkan banyak sentuhan teknologi agar lebih maju. Cobalah saat pulang kampung mengunjungi keluarga, lihat dan pahami apa yang ada selama perjalanan dan yang ditemui di daerah asal.

Bukankah sarjana dan mahasiswa sebagai putra daerah yang dengan kepintarannya mampu kuliah di ITS, yang harus bertanggung jawab membangun daerahnya sendiri, tanah kelahirannya sendiri?

Menuntut teknologi yang canggih
berbudi agung dan cerdas
menuju kesejahteraan bangsanya, serta dunia
Almamaterku.. kan kuturut bimbinganmu
jadi pejuang yang tak kenal letih
membangun negeri
Hidup ITS
Almamaterku Jaya

(Hymne ITS)
Penulis:
Hurriyatul Fitriyah
Mahasiswa Teknik Fisika ITS

Berita Terkait