Tulisan ini sebenarnya merupakan refleksi dari buku Sandyakalaning Tanah Dewata yang ditulis oleh seorang peranakan Bali, I Ngurah Suryawan. Dalam bukunya, Ngurah bercerita panjang lebar tentang ketidaksetujuannya terhadap pembudayaan besar-besaran yang ada di tanah kelahirannya, Bali.
Melembagakan budaya yang ada di Bali bisa jadi sebuah keharusan. Mengapa? Karena selama ini Bali menjual pariwisata yang didasarkan pada budaya masyarakatnya yang disebutkan selama ini bahwa ‘tidak berubah walau dihantam globalisasi’. Lewat kampanye Ajeg Bali, pemerintah setempat yang berkuasa melakukan propaganda besar-besaran bahwa masyarakat Bali harus berkutat dengan nilai-nilai yang ‘terlihat’ tradisional. Ada penyeragaman yang disamarkan, prinsipnya adalah mewujudkan Bali yang terlihat Bali. Ujung-ujungnya adalah keuntungan materi yang kembali pada para pemilik modal dan pemerintah yang berkuasa.
Ngurah, dalam bukunya menuturkan dalam sebuah pelembagaan, atau sebuah jalan yang menuju ke-ajeg-an, maka harus ada konsekuensi yang jelas: memelihara yang seragam dan menumpas yang tidak seragam. Tentu saja ini berdampak kepada seniman muda Bali yang mengusung varian budaya alternative. Mereka dianggap ‘tidak Bali’ walaupun mereka lahir dan besar di Bali.
***
Dari gambaran diatas, ada sebuah tanda tanya besar yang menggantung; Apakah budaya itu? Benarkah ritual budaya masih merupakan sesuatu yang sakral-transenden? Atau sebenarnya ritual budaya hanya ditunggangi untuk mengeruk keuntungan yang lebih besar dari para turis?
Budaya bagi Koentjaraningrat adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia, sebuah aktualisasi dari diri yang merdeka. Budaya tidak diciptakan atas pemaksaan dan kekerasan. Penyeragaman budaya yang ada merupakan salah satu bentuk kekerasan pada aktualisasi diri seseorang.
Pada masa Orde Baru kita sering mendengar dengan apa yang disebut ‘Jawanisasi’, Indonesia yang merupakan salah satu Negara dengan keragaman alam terbesar (megadiversity) akan diseragamkan hanya dengan satu baju dan satu pola pikir. Bisa jadi ini merupakan sebuah penjajahan budaya. Penjajahan budaya sendiri melahirkan dua sikap yang berbeda dari masyarakat yang terjajah: Pertama, masyarakat yang terjajah akan patuh dan menuruti segala titah yang diperintahkan oleh pemerintah yang berkuasa. Hal ini tidak lain terjadi karena kurangnya pengetahuan mereka, yang mereka ketahui bahwa gerakan ajeg budaya ini lebih merupakan strategi membentengi budaya dari ragam budaya asing yang masuk.
Kedua, Masyarakat yang melawan. Golongan masyarakat ini tahu bahwa sesuatu dipaksakan menjadi ajeng lebih merupakan penjagaan atas aset-aset kapital yang ada, tidak lagi bersifat sakral, budaya di masa kini lebih berupa sumber devisa yang menguntungkan segelintir orang. Sebut saja Zapatista, kelompok minoritas Indian di Amerika Selatan yang lebih memilih untuk terus melawan daripada menjadi korban dari penyeragaman. atau mungkin suku Samin di Blora yang tetap mempertahankan budaya tradisionalnya dibawah gempuran teknologi dan kapitalisasi budaya.
***
Sembari mendengarkan lagu-lagu dari Superman Is Dead (SID) dan Lolot, dua band ikon sub-culture Bali, saya mencoba merasakan keresahan seniman-seniman muda Bali yang merasa ke-ajeg-an Bali bukan milik mereka lagi. Saya teringat satu potong lagu SID: “…dan semua band mengcopy Blink, Pemberontak dimanakah engkau bersembunyi…”
Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi