ITS News

Minggu, 29 September 2024
15 November 2006, 11:11

Berebut Kursi ITS-1

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hari ini, lima carek yang tersisa -dari sebelumnya tujuh nama- akan tampil dalam pemaparan langkah-langkah operasional terkait dengan visi dan misi mereka di Gedung Pascasarjana ITS. Tahap yang diberi nama Penyampaian Wawasan Membangun itu sangat menentukan. Para carek harus mampu meyakinkan ke-68 anggota senat ITS.

Sebab, Jumat (17/11), para anggota senat itulah yang melakukan pemungutan suara guna menentukan tiga carek yang hendak disodorkan ke Jakarta. Setelah pemilihan internal ITS tuntas, keputusan sepenuhnya berada di tangan RI-1.

Lantas, kapan presiden mengumumkan rektor terpilih? "Kita hanya bisa menunggu, semua terserah presiden. SK (surat keputusan, Red) bisa lebih cepat atau lebih lambat dari berakhirnya masa jabatan rektor saat ini pada 17 Februari 2007," jelas Prof Mahmud Zaki MSc selaku ketua panitia pemilihan calon rektor (pilcarek).

Tiga nama yang diajukan sangat bergantung pada kesiapan serta ketepatan jawaban carek di hadapan para anggota senat hari ini. "Dalam pemaparan visi dan misi, panitia pemilihan telah menyiapkan tim penanya yang terdiri atas delapan anggota senat. Mereka berhak bertanya dulu sebelum yang lain," ujar Ir Sritomo Wignyosoebroto MSc, wakil ketua pilcarek.

Tim penanya terdiri atas berbagai unsur. Dua di antaranya adalah mantan rektor, yakni Prof Mahcmud Zaki MSc dan Prof Ir Soegiono. Serta, enam wakil fakultas, yakni Taslim Ersam (FMIPA), M. Rochimoellah (FTI), Happy Ratna Santoso (FTSP), Tjuk Suprayitno (FTK), dan Handayani Tjandrasa (FTIf). Satu wakil Politeknik belum ditentukan. Pilihannya antara Titon Dutono (PENS) atau Suwarno Tahid (PPNS).

Visi dan misi mereka menjadi parameter awal ITS hendak dibawa ke mana oleh para carek itu. Sesuai urutan abjad, para carek yang akan bersaing adalah Ir Djauhar Manfaat MSc PhD (Teknik Perkapalan-Fakultas Teknologi Kelautan), Ir Eko Budi Djatmiko MSc PhD (pembantu dekan III Fakultas Teknologi Kelautan), Prof Dr Mohammad Nuh DEA (incumbent), Prof Dr Ir Nadjadji Anwar MSc (Teknik Sipil-Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan), serta Prof Ir Priyo Suprobo MSc PhD (dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan).

Kelima nama tersebut melaju setelah diadakan penjaringan pendapat pada 10-17 Oktober lalu. Dari proses itu, ada dua nama lain yang tereliminasi, yakni Ir I Ketut Aria Pria Utama MSc PhD dan Prof Ir Paulus Indiyono MSc PhD. Suara civitas ITS -terdiri atas tiga elemen, yakni dosen, karyawan, dan mahasiswa- tidak terlalu banyak mendukung mereka.

Dari penjaringan pendapat itu, incumbent M. Nuh memimpin dengan total skor 4.500,99 (penghitungan suara menggunakan sistem skor dengan rumus jumlah suara sah dibagi populasi, kemudian dikalikan bobot). Berikutnya, Probo dengan skor 1.134,28, Nadjadji (178,67), Eko (136,42), serta Djauhar (133,25).

Pada periode ini, kelima carek menyuarakan ide yang hampir sama. Ada dua agenda besar yang dikumandangkan, yakni membawa ITS menuju badan hukum milik negara (BHMN) dan pencarian pengakuan internasional atau international recognition. "Nah, pada penyampaian wawasan membangun nanti (hari ini, Red), carek sudah harus masuk dalam tataran cara operasionalisasi," ungkap Sritomo.

Seperti apa gambaran visi dan misi para carek? Djauhar Manfaat, misalnya, mengaku telah menyiapkan program kerja. "Langkah nyata mewujudkan ITS ber-BHMN telah saya rancang. Proses yang sampai saat ini berjalan harus diteruskan," ujar lulusan University of Strathcide, Glasgow, itu.

Ada tiga hal yang bakal dia lakukan. Yakni, perbaikan sistem akademik, manajemen aset, serta pengabdian masyarakat. "Atmosfer akademik ITS harus lebih baik dan berotonomi. Saya akan mengusulkan LCD-nisasi," ungkap pembimbing English debate mahasiswa ITS tersebut.

Menurut dia, akses LCD (liquid crystal display) di setiap ruang kuliah cukup adalah penting karena kualitas lingkungan belajar bisa mendukung peningkatan mutu pendidikan. "Imbasnya tentu pada key performance indicators, yakni lulusan," tegasnya.

Pria yang gemar berparikan tersebut juga mengusulkan mewujudkan techno park ITS yang selama ini masih menjadi rencana dan angan-angan. "Selain itu, BHMN harus dicapai dulu. Jika ITS sudah benar-benar kuat, pengakuan internasional otomatis tercapai," kata Djauhar.

Apalagi, ungkap bapak dua putri tersebut, ITS saat ini sudah cukup banyak mengadakan kerja sama dengan institusi serta lembaga pendidikan di luar negeri.

Perbaikan manajemen juga menjadi perhatian carek lainnya, Ir Eko Budi Djatmiko MSc PhD. "Sistem keuangan juga harus ditata," jelasnya. Dia menyatakan, hal tersebut sangat penting bagi ITS menuju BHMN.

Eko ingin menambah unit pelaksana teknis (UPT) yang dibuka untuk umum, sehingga bisa memberikan kontribusi dalam penyediaan keuangan ITS. "Banyak lahan di ITS yang bisa dimanfaatkan untuk modal awal, misalnya untuk lapangan golf," ujarnya.

Dia tertarik pada peluang itu karena di Surabaya Timur belum ada lapangan golf. "ITS bisa menjadi satu-satunya nanti," ungkapnya.

Eko juga berangan-angan menambah fasilitas penunjang pengajaran guna mendukung aktivitas mahasiswa. Misalnya, teater dan kafe. Mengapa kedua sarana itu dipilih? Eko menilai, mahasiswa ITS saat ini cenderung kaku dan tidak luwes. Kedua sarana tersebut diharapkan bisa menjadi jembatan.

Lewat teater, dia berharap suasana seni akan mengisi kehidupan mahasiswa ITS. Begitu pula dengan pendirian kafe yang, menurut dia, bisa menghidupkan suasana kampus. "Akan semakin banyak transfer ilmu dengan suasana kampus yang hidup 24 jam," katanya.

Hal itu harus ditunjang perbaikan soft skill melalui pemanfaatan laboratorium. Dia menilai, laboratorium merupakan gudang ilmu dan ide. Dari situlah berkembang penelitian-penelitian yang bisa mengangkat nama ITS ke pentas nasional, bahkan dunia.

Soal kekhawatiran kenaikan SPP jika ITS ber-BHMN, Eko berjanji menekan hal tersebut jika dirinya terpilih nanti. Kalaupun harus terjadi kenaikan, tidak akan drastis. "Walaupun BHMN, pemerintah tetap harus membantu pembiayaan perguruan tinggi. Hanya, porsinya memang tidak sebesar ketika belum BHMN," tegasnya.

Berbeda dari incumbent M. Nuh. Dia membagi teknis operasional visi dan misinya menjadi dua aspek. "Yakni, legal dan substansi. Aspek legal adalah penuangan ITS ber-BHMN dalam bentuk peraturan pemerintah (PP). Aspek substansi menyangkut otonomi pengelolaan berbagai sumber daya" ungkap mantan ketua ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) Jawa Timur tersebut.

Pengelolaan sumber daya bertujuan untuk efisiensi yang bermuara pada efisiensi keuangan yang dibarengi transparansi serta akuntabilitas. "Tapi, kalau soal penerapan efisiensi, tidak usah menunggu sampai benar-benar menjadi BHMN," ujarnya.

Untuk pengakuan ITS di kancah internasional, Nuh akan mendorong para dosen agar lebih aktif melakukan riset serta menulis di jurnal internasional. Karena itu, dia akan melakukan restrukturisasi awal, terutama yang berhubungan dengan laboratorium. "Sebab, di situlah kami bisa melakukan riset dan penulisan," tegasnya.

Dia tidak menyangkal bahwa penelitian dan kesejahteraan dosen serta karyawan ITS menjadi dua kekurangannya selama memimpin ITS. "Tapi, kan capaian harus dibandingkan periode sebelumnya. Ada progress, tapi belum cukup mendongkrak," katanya.

Keinginan membawa ITS ke dunia internasional lewat penelitian juga diungkapkan Prof Ir Priyo Suprobo MSc PhD. Langkah awalnya adalah melakukan laboratorium mapping atau pemetaan laboratorium. "Setelah dipetakan, permasalahan akan diketahui, sehingga bisa dilakukan pembenahan yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, pemeliharaan, serta output-nya," jelas bapak empat anak tersebut.

Upaya lain, melaksanakan pembelajaran yang berfokus pada mahasiswa. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum berbasis kompetensi dengan mengupayakan lebih banyak praktikum.

Sedikit berbeda dari yang lain, Nadjadji tak secara langsung menyodorkan tentang BHMN dan pengakuan internasional. Dia lebih menekankan pada makna kedua poin tersebut. "Maknanya kan pelaksanaan tata kelola kampus yang baik karena kita adalah perguruan tinggi publik," ungkapnya.

Selain itu, dia ingin melakukan dua langkah strategis, yakni akses terhadap masyarakat luas dengan biaya yang terjangkau serta pencapaian kualitas dan relevansi melalui perbaikan kualitas pendidikan. "Sebenarnya, yang kita butuhkan bukan pengakuan, tapi standar kurikulum yang sama dengan perguruan tinggi lain di tingkat internasional," tegasnya. (ara/cie)

Berita Terkait