ITS News

Kamis, 14 November 2024
16 Desember 2006, 20:12

Nayla, Potret Parahnya Budaya Pertelevisian Kita

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Tayangan yang patut membuat dunia pertelevisian Indonesia malu ini adalah Buku Harian Nayla. Mungkin sudah banyak orang tahu, sinetron ini berecerita tentang sorang gadis bernama Nayla yang berjuang melawan penyakit spinocerebellar ataxia. Sinetron ini baru beberapa hari ditayangkan disalah satu televisi swasta dalam rangka memperingati Natal mulai 11 Desember ini

Yang belum banyak orang tahu adalah, ternyata sinetron ini membajak drama Jepang yang berjudul “One Litre of Tears” atau “Ichi Rittoru no Namida”. Di Jepang acara ini sudah tayang sejak tahun 2005 lalu. Sungguh amat disayangkan, kembali Indonesia membuktikan dirinya sebagai bangsa tanpa malu yang dengan membajak karya bangsa lain.

Namun, masih ada hal yang lebih membuat parah lagi. One Litre of Tears bukanlah kisah fiksi melainkan kisah nyata Aya Kito (29 Juli 1963 – 23 Mai 1988) yang berjuang bertahan hidup melawan penyakitnya. Setelah didiagnosa hingga meninggal Aya menulis buku hariannya untuk menyemangati dirinya agar tetap bertahan, meski kemudian ia meninggal diusia 25 tahun.

Buku harian Aya ini kemudian diterbitkan, hingga menjadi Best Seller di Jepang dan kemudian diadaptasi sebagai One Litre of Tears di televisi Fuji TV.

Sungguh tidak berperi kemanusiaan, membajak cerita hidup orang lain yang berjuang menghadapi penyakit yang sulit disembuhkan. Bahkan hingga dialog dan adegan per adegan sama dengan versi aslinya di Jepang sana.

Yang paling menyedihkan pihak production house (PH) Buku Harian Nayla dengan entengnya memasang disclaimer bahwa cerita ini hanya fiksi, padahal kejadian ini benar-benar adalah kejadian nyata yang terjadi di Jepang. Setelah sekilas menonton Buku Harian Nayla dan membandingkan dengan One Litre of Tears, saya benar-benar prihatin.

Dan merupakan sebuah ironi luar biasa, untuk meyemarakkan Natal yang merupakan hari raya yang disucikan umat Nasrani, pihak televisi menayangkan acara yang membajak karya orang lain, dan menyebut kisah kehidupan penuh perjuanagn Aya Kito hingga akhir hayatnya sebagai ‘hanya fiksi belaka’.

Pembajakan ini benar-benar tidak menghargai penderitaan seorang Aya Kito, tidak menghargai keja keras kru One Litre of Tears, dan melukai perasaan ribuan penggemar drama televisi dan drama Jepang di Indonesia.

Lebih Parah Dari Membajak CD

Mungkin akan ada penggemar sinetron Indinesia yang mengajukan pembelaaan, bahwa toh yang mengkritik Buku Harian Nayla ini juga nonton versi CD bajakan. Menurut saya, justru Buku Harian Nayla ini berkali-kali lebih parah. Pihak PH bahkan tidak mencantumkan disclaimer ‘diadaptasi dari’ atau ‘berdasar kisah nyata dari’ yang menujukkan apresiasi terhadap karya aslinya

Selain alasan yang telah dikemukakan diatas juga ada satu hal lagi, setidaknya pera pembajak CD dan pembelinya tidak mengaku bahwa bajakan itu sebagai karya mereka. Tidak seperti pihak PH yang tanpa malu membuat sinetron dan mengaku sebagai karya fiksi karangan sendiri.

Internet jadi ‘Satpam’

Terbongkarnya kedok sinetron Buku Harian Nayla sebagai bajakan tak lepas dari Internet. Dengan internet, ribuan orang di Indonesia bisa mendiskusikan sinetron ini, memebreikan referensi ke sinetron asalnya dan menggalang komunitas untuk menyampaikan penolakan.

Bahkan di salah satu forum Internet yang saya ikuti, para penggunanya meng-capture tayangan versi Jepang yang asli dan versi Indonesia yang bajakan dan membandingkan dan membuktikan tindak pembajakan ini.

Bukan cuma itu mereka juga menyampaikan petisi penolakan Buku Harian Nayla ke stasiun televisi yang menayangkannya, pihak production house dan pihak Fuji TV sebagai penyiar tayangan yang asli.

Kabar tentang pembajakan ini juga sudah sampai ke tingkat internasional, hingga sampai masuk ke Wikipedia, ensiklopedi berbahasa Inggris terbesar di internet.

Saatnya Penonton Bertindak

Memang kita hanyalah para penonton biasa. Tapi kita juga punya suara. Karenanya bila kita masih punya harapan agar dunia pertelevisian kita maju, seharusnya kita mulai beretindak.

Salah satu yang paling jelas adalah, kita hendaknya berhenti menonton sinetron bajakan seperti ini, atau istilahnya boikot. Apalagi ini bukan acara pertama yang membajak karya negeri lain. Sebelumnya yang mungkin cukup tereknal adalah sinetron Meteor Garden yang juga pernah dibuat versi bajakan ala Indonesia.

Para penonton televisi Indonesia punya hak. Dan hak itu adalah hak untuk mendapat tontonan yang orisinal dan berkualitas, bnukan tontonan bajakan. Saatnya para penonton untuk mendapatkan haknya.

Arif Hidayat
( Redaktur ITS Online, Mahasiswa Teknik Informatika ITS, Blogger)

Referensi :
– http://kaskus.us/showthread.php?t=435561
– http://en.wikipedia.org/wiki/1_Litre_of_Tears
– http://www.sctv.co.id/community/t2977.html
– http://ashr06.blog.com/

Perbandingan antara versi asli dan bajakan:
– http://i98.photobucket.com/albums/l244/empat32satu0/waduuh.jpg
– http://img182.imageshack.us/img182/6970/nayjishd2.jpg

Berita Terkait