ITS News

Minggu, 29 September 2024
08 Januari 2007, 11:01

Ingin Pangkat Tertinggi, Malah Jadi Profesor

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Diungkapkan ayah dua orang anak SEDIKIT pun tak ada keinginan atau cita-cita untuk menjadi guru besar atau profesor. Keinginan utamanya malah bagaimana dapat meraih pendidikan dan pangkat tertinggi. Itulah ungkapan pertama kali yang meluncur dari Prof Dr Ir Djoko Sungkono MEng Sc, guru berkelahiran Surabaya, 7 September 1944, sejak awal ia bergabung dan memilih menjadi dosen, tidak sedikit pun bercita-cita meraih jabatan akademik sebagai seorang guru besar, tapi ia lebih ingin untuk mencapai pendidikan tertinggi (S3) dan pangkat tertinggi IVE.

”Dalam perjalanannya untuk mencapai jabatan tertinggi IVE ternyata tidak bisa diraih jika seseorang tidak mendapatkan jabatan akademik guru besar, maka akhirnya saya pun harus bisa meraih guru besar agar bisa meraih pangkat tertinggi. Alhamdulillah SK saya tentang guru besar sekaligus juga mendapatkan pangakat IVE,” katanya.

Apa yang bakal disampaikan dalam orasi ilmiah pengukuhannya? ”Sebagai orang yang dibesarkan dan meraih gelar guru besar dari laboratorium, saya ingin menyampaikan pidato pengukuhan tentang ’Peran Laboratorium Kehalian Dalam Menunjang Keilmuan’. Pada pidato nanti saya akan menyinggung bagaimana sebuah laboratorium juga bisa mengantarkan seseorang meraih gelar akademik tertinggi. Jadi tidak perlu masuk laboratorium setelah menjadi profesor, tapi masuklah ke laboratorium untuk memperoleh gelar guru besar,” terangnya.

Di mata suami Mike Jeny Salmon ini, laboratorium adalah segala-galanya, bukan hanya sebagai tempat untuk melakukan ekspermien, memperdalam dan mempraktekkan ilmu, tapi juga menanamkan nilai-nilai akademik serta moral. Kini ia berada di laboratorium lebih dari 8 jam sehari dan bahkan bisa pulang hingga dini hari. Apa yang didapatkan, apakah karena saya seorang yang gila kerja? ”Banyak memang orang bertanya seperti itu, tapi saya selalu menjawab itu dilakukan bukan lantaran saya seorang yang gila kerja, tapi lebih pada saya mendapatkan kesenangan saat berada di laboratorium,” kata Kepala Laboratorium Bahan Bakar dan Motor Pembakaran Dalam.

Kesenangan berada di laboratorium ini pulalah yang dibuktikan Djoko saat dirinya kemudian menghasilkan satu paten tentang kompor minyak bersumbu 18 dan 24 untuk desain sarangan sebagai pusat pembakaran. ”Melalui laboratorium saya telah berhasil mendapatkan paten, tiga paten lainnya akan segera menyusul diantaranya tentang Reflektor Panas Bersirif, Kompor Minyak Bersumbu Logam, dan Kuningan sebagai Penyerap Katalisator Racun Gas Buang Kendaraan. Semua saya hasilkan karena ketekunan berada di laboratorium,” kata Djoko.

Di Jurusan Teknik Mesin ITS, Djoko merupakan guru besar ketiga di bidang konversi energi atau perpindahan panas. ”Saya lebih banyak meneliti tentang bahan bakar dan pengganti bahan bakar alternatif jenis fosil. Jauh sebelum orang ramai membicarakan tentang biodisel atau biopetrol seperti sekarang, kami di laboratorium sudah melakukannya, sehingga sampai pada kesimpulan, untuk saat ini pengembangan biodisel yang paling mungkin adalah pemanfaatan CPO, VCO, dan nipah,” ungkap Djoko.

Bagaimana dengan bahan lainnya? Ternyata hampir semua jenis kacang-kacangan dan umbi-umbian bisa dijadikan bahan alternatif untuk biodisel." Saat ini laboratorium kami juga sedang meneliti kemungkinan penggunaan kacang tanah untuk biodisel. Semuanya kami telah lakukan, karena kami tertantang untuk mencari berbagai alternatif. Tentang dimanfaatkan atau tidak, itu urusan nanti, tapi kami hanya ingin menyampaikan kepada masyarakat ada banyak alternatif bahan yang bisa dijadikan sebagai bahan pengganti bahan bakar fosil,” katanya.

Djoko menyampaikan saran, untuk mengembangkan biodisel ke depan, sebaiknya pemerintah tidak harus berpatokan hanya pada satu jenis bahan baku saja, tapi bisa dikembangkan untuk bebagai jenis bahan baku lain, dan itu bisa diterapkan dan disesuaikan pada daerah-daerah yang memang bahan baku itu berlimpah. ”Dengan desain pabrikasi bergerak, kita bisa menempatkan peralatan untuk menghasilkan biodisel dengan bahan baku dari buah kelapa misalnya di daerah Sulawesi, saat di daerah itu panen,” pungkasnya. (Humas/jie)

Berita Terkait