ITS News

Minggu, 29 September 2024
01 Februari 2007, 13:02

Minim, TA yang Terserap Industri

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Setiap tahun, ribuan penelitian dilakukan para mahasiswa dari berbagai jurusan untuk menyelesaikan tugas akhir (TA). Tapi, menurut Prof Ir I Nyoman Sutantra, MSc, PhD, ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), penelitian mahasiswa yang terserap dunia industri kurang dari lima persen.

"Mari kita mengambil contoh ITS. Setiap tahunnya, kami meluluskan sekitar 1.500 mahasiswa. Logikanya, ITS memiliki 1.500 penelitian mahasiswa dari TA yang bisa dimanfaatkan," tutur pria yang mengajar di ITS sejak 1978 itu.

Ke-1.500 karya tersebut berpotensi untuk menjadi barang bermanfaat di masyarakat. Sutantra mencontohkan beberapa alat seperti pengupas kulit kacang atau peralatan antipencuri. "Penelitian mereka bagus-bagus, tak kalah dengan yang dari luar (negeri)," sambung alumnus ITS Teknik Mesin itu.

Sayangnya, alat siap pakai itu harus terbengkalai begitu saja di kampus tanpa ada kelanjutan. Padahal, menurut Sutantra, jika metode link and match antara perguruan tinggi dan industri berjalan baik, teknologi karya anak negeri itu bisa dinikmati masyarakat.

"Sekarang kan tidak, masak mau kuliah kerja nyata saja perusahaan ada yang tidak welcome. Seharusnya, perusahaan dan mahasiswa bisa saling memanfaatkan," katanya. Dia menilai kalangan industri cenderung menutup diri.

Sutantra mengatakan, setiap tahun perusahaan seharusnya membuat riset mengenai alat-alat yang telah dan akan dibutuhkan. Hal ini digunakan untuk mengetahui kekurangan alat yang dimiliki perusahaan.

Misalnya, perusahaan A membutuhkan alat pemotong otomatis, maka perusahaan A diharapkan memberi masukan kepada perguruan tinggi. "Atau paling tidak, ada mahasiswa yang magang di situ. Jadi, berilah permasalahan pada anak-anak magang itu untuk dipecahkan. Aplikasinya nanti bisa langsung. Jangan seperti sekarang, yang sedikit-sedikit impor. Padahal hasil karya anak negeri juga bagus," jelas dosen yang sudah tiga tahun menjabat ketua LPPM itu.

Sebaliknya, pihak kampus juga harus proaktif. Kampus-kampus yang bergerak di bidang teknik sebaiknya juga menyelenggarakan berbagai seminar industri. Itu bertujuan agar mahasiswa lebih peka terhadap kebutuhan industri. "Kampus juga harus membuat buku penelitian yang berisi seluruh hasil karya mahasiswa. Nantinya disebar ke indsutri, siapa yang tertarik bisa langsung menghubungi yang bersangkutan," katanya.

Mengamini pernyataan Sutantra, Rudy Setiawan, ketua LPPM Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (Stikom), juga merasakan kurang hangatnya hubungan antara kalangan industri dan kampus. Di Stikom, setiap tahun ada sekitar 400 hingga 500 mahasiswa yang mengerjakan tugas akhir.

"Kebanyakan software, ada juga yang hardware. Sebenarnya bagus-bagus, tapi sayang setelah dipresentasikan pada sidang, semuanya berakhir di situ saja," kata Rudy. Meski begitu, dia enggan menuding kalangan industri sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab.

Dia lebih mengharapkan sikap proaktif kampus dalam menggandeng kalangan industri. "Kampus juga harus menyurvei, kira-kira industri butuh alat yang semacam apa. Sehingga kita bisa saling bekerja sama," tegasnya.

Menanggapi hal ini, Cipto Budiono selaku kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur mengatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir kalangan industri telah berusaha menggandeng berbagai perguruan tinggi. "Kami selalu mencari inovasi baik teknik, manajemen, maupun software di berbagai kampus. Tapi jangan dikira semua yang dihasilkan mahasiswa dapat diproduksi jika belum benar-benar valid," terangnya.

Menurut Cipto, kampus harus menyadari keinginan industri, yakni sisi teknis dan ekonomis. "Serta praktis dan aplikatif. Misalnya membikin robot, kalau nilai teknis dan ekonomisnya nggak bagus juga susah masuk industri," sambungnya.

Solusi terbaik, menurut dia, adalah dengan mengadakan trial berulang-ulang pada alat penelitian. Alat harus benar-benar mumpuni sehingga industri yang terlanjur berinvestasi untuk alat tersebut tidak merasa dirugikan. (ara)

Berita Terkait