ITS News

Jumat, 15 November 2024
19 Februari 2007, 14:02

Februari

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Benarlah kata orang bahwa Februari adalah bulan yang penuh cinta, selebrasi cinta sangat kentara di bulan kedua dalam penanggalan Masehi ini. Santo Valentino biangnya, konon pengorbanannya mampu menginspirasi jutaan orang untuk mengungkapkan cintanya hingga menjadi kultur sampai saat ini. Cinta selalu saja menjadi inspirasi. Sejak Romeo hingga Hamlet, dari Laila sampai Sangkuriang semuanya epik besar yang diwarnai kisah cinta. Jadi jangan salahkan ribuan lagu dan jutaan puisi yang tercipta karena cinta. Juga film Indonesia yang melulu bicara masalah cinta –tentu saja dengan mistik, dua hal yang sangat marketable di negeri ini.

Menyoal film Indonesia yang selama ini mengumbar kisah cinta remaja, sebuah kritik film yang dilontarkan oleh seorang pengamat perfilman di sebuah harian ternama di awal bulan membuat kita berpikir, akan dikemanakan perfilman kita? Jalinan cinta picisan dengan setting keluarga mapan dan soundtrack dari seorang penyanyi legendaris menjadi syarat wajib film yang ingin sukses di pasaran. Dalam film-film tersebut cinta selalu digambarkan dengan indah. Diawali dengan perkenalan yang tak terduga, dibumbui sedikit konflik yang menjemukan, diakhiri dengan happy ending menjadikan film-film kita berasa sangat Hollywood.

Tapi apa benar sesederhana itu? Saat melihat kisah menarik dari Angel Lelga, berubahlah pandangan bahwa cinta itu selamanya indah. Ternyata toh cinta yang kita gembar-gemborkan selama ini juga bisa menjadi tidak indah. Sangat tidak indah. Apalagi diwarnai kebohongan dan penyerahan diri yang nafsuis. Mungkin cinta seperti itu yang ingin digambarkan secara sarkatis oleh Djenar Maesa Ayu dalam beberapa cerpennya. Seperti dalam sebuah cerpen Ayu yang terangkum dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Jangan Main-main Dengan Kelaminmu dia bercerita tentang seorang suami yang berpandangan bahwa istrinya semakin buruk saja penampilannya dari hari ke hari, seperti onggokan daging ujarnya. Begitu juga sang istri yang mengetahui bahwa sang suami telah berselingkuh dan dia hanya membiarkannya saja. Cerpennya sendiri diceritakan dengan fragmen cerita yang terpatah-patah seperti film Memento, sehingga mengesankan bahwa cinta adalah sebuah hubungan yang rentan.

Setidaknya itu yang dapat kita lihat, banyak kisah cinta yang ditutupi dengan pupur yang tebal dan gincu yang menor, semuanya terlihat samar dan absurd. Sama absurdnya dengan komitmen pemerintah pusat dan ibukota yang berkeinginan untuk membebaskan Jakarta dari banjir di awal bulan. Semua tampak menjadi janji-janji kosong apalagi saat banyak korban mulai berjatuhan. Semuanya terjadi di satu tempat, Jakarta, ibukota Indonesia. Sudah sepantasnya pemerintah mulai memperhatikan tata kota Jakarta yang sudah semakin semrawut. Ditambah kesadaran masyarakat yang rendah dalam memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar. Maka banjir adalah sesuatu yang niscaya, sebuah konsekuensi logis.

Seharusnya pandangan masyarakat Cina dalam memandang hakikat hubungan alam dan manusia patut kita tiru. Filsuf Cina terkenal, Lao Tse mengatakan bahwa sejatinya manusia dan alam adalah kesatuan yang padu. Berjalin kelindan setiap aspek hidupnya. Itulah mengapa aspek keseimbangan menjadi prinsip yang paling utama. Selama ini manusia telah menanam dan sekarang alamlah yang memberikan balasan. Banjir Jakarta adalah saksi bagaimana warga Jakarta memperlakukan alam sekitarnya. Otto Soemarwoto, seorang ekolog terkemuka, selalu mengingatkan kita dalam setiap karyanya bahwa sebagai makhluk paripurna yang diberi kemampuan berpikir selayaknyalah manusia untuk senantiasa berpikir holistik. Memandang sesuatu dari setiap sisinya.

Tanpa terasa Februari telah memberi kita banyak hal. Februari mengajarkan kita tentang cinta. Cinta yang tidak saja berlaku pada sesama manusia, tetapi juga cinta kepada alam sekitar. Akhirnya cinta pulalah yang mengingatkan saya pada pernyataan Agus, seorang pemuda yang sibuk dengan konflik cintanya sendiri dalam serial TV Jomblo, bahwa manusia hidup di dunia itu harus membuat pilihan. Sepahit apapun jawabannya sebaiknya kita terima dengan penuh tanggung jawab, karena bagaimanapun juga hidup harus tetap berjalan.

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Februari