Gemerlap pertandingan sepak bola, mampu membius hampir tiap kaum adam, bahkan tak luput juga sebagian kaum hawa. Atas semua kesenangan melihat pertandingan ini, ternyata tersimpan misteri yang bisa jadi membuat mata rakyat jelata terbelalak. Bukan disebabkan kemampuan pemainnya memasukkan bola ke gawang, tapi karena besarnya dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) yang digunakan club sepak bola, hingga menguras kas ‘hak’ rakyat Indonesia. Padahal, di sana sini masih bayak tercecer kelaparan, kemiskinan dan kesengsaraan. Apakah rela mereguk kesenangan semata, sementara di sekiling kita masih menderita?
—–
Kuras Dana Rakyat
Akhir-akhir ini, kemeriahan Liga Indonesia tak semewah tahun sebelumnya. Bisa jadi karena segudang masalah dunia sepak bola yang kian menumpuk dan mendatangkan keniscayaan. Mulai dari ‘skandal’ uang APBD yang berakibat klub-klub besar yang biasanya membuat pesta launcing teamnya dilakukan di hotel berbintang, tetapi sekarang hanya dilakukan di depan stadion.
Siapa sangka bahwa selama ini, sepak bola Indonesia telah menguras hampir separuh dana APBD. Total dana yang dikeluarkan untuk club sepak bola di Indonesia mencapai 600 Milyar per tahun. Padahal, menurut data Departeman Dalam Negeri, sejak pelaksanaan otonomi daerah yang disuarakan mulai tahun 2001, dana APBD yang disalurkan ke daerah sangat besar yaitu mencapai 81,47 Triliun. Bahkan, pada tahun 2006 lalu meningkat drastis menjadi 220,07 Triliun. Jika dituliskan dalam prosentase, rata-rata mengalami kenaikan pemasukan APBD 23,9 persen per tahun.
Untuk sepakbola, bila dirinci, untuk klub divisi utama saja, dalam setahun merogoh kecek APBD sebesar 11-25 Milyar. Sedangkan, bagi klub divisi I juga dapat jatah APBD sekitar 4-12 Milyar per tahun. Bahkan, dalam Liga Indonesia tahun lalu, klub Persija menyiapkan anggaran hingga 20 Milyar.
Terlebih, pemain divisi utama rata-rata mempunyai kontrak sebesar 200 juta-1,2 Miliar per tahun. Itu belum termasuk gaji bulanan yang bisa mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah. Apalagi, untuk pemain unggulan, ditambah bonus hadiah lima juta rupiah dalam sekali mencetak gol. Sedangkan, kiper pun mendapat bonus tiga juta rupiah jika berhasil menangkap bola lawan. Jika dihitung rata-rata tiap klub sepak bola di daerah menghabiskan sekitar 50 persen dari PAD. Memang tidak semua daerah, tapi rata-rata.
—-
Layakkah?
Coba pikirkan, apakah layak, alokasi anggaran yang begitu besar hanya unuk membayar kontrak dan gaji pemain? Pun dengan dana melimpah itu pula, apakah telah
terbayarkan dengan prestasi yang diraih dikancah ajang persebakbolaan internasional?
Sungguh ironis, jika dibandingkan dengan dana APBD untuk raskin (rakyat
miskin) saja jauh lebih kecil menyentuh itu.
Apalah artinya presentase yang dianggarkan untuk pendidikan 20 persen dari APBD, tapi realisasinya hanya 10,2 persen dan sisanya 9,8 persen tidak jelas pengunaanya. Padahal, APBD adalah uang rakyat dan wajib dipertanggungjawabkan!
Memang, aturan terkait bantuan keungan telah diatur dalam PP no 58/2005 dan Permendagri no 13/2006. Namun, beberapa pasal pun telah dilanggar dan disalah-artikan. Selain itu, senjata lain yang digunakan untuk mengelak pencabutan dana APBD untuk sepakbola adalah UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Di sana disebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan dana olahraga, tapi harus bersifat transparan dan akuntabilitas. Namun, kedua syarat itu hingga kini tak pernah terealisasi, seolah membuat dana APBD sepertinya melayang begitu saja. Harusnya laporan pendanaan itu selayaknya diaudit oleh akuntan publik.
——
Pencabutan, Sangat Wajar!
Pencabutan APBD untuk bola sangat wajar dilakukan, jika dilihat dari besarnya nilai yang dikeluarkan dan tak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Apakah karena hibah, akhirnya tak dapat dipertanggungjawabkan? Apakah hibah itu juga terus-menerus? Kapan kita bisa mandiri bila kondisinya seperti ini? Apalagi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat!
Sebenarnya klub sepak bola harusnya bisa dilatih mandiri. Karena pertandingan ini sangat menjual. Bisa dari sponsor yang mau mengeluarkan kocek puluhan Miliar ketika pertandingan, ataupun dari penjualan tiket, stiker, kaos dan merchandise. Apalagi, hingga saat ini dari beratus klub sepakbola di Indonesia, hanya ada empat klub sepak bola saja yang tak meminta dana APBD. Bayangkan hanya empat dari beratus klub yang bisa membuktikan dirinya mandiri! Mereka pun bisa maju dengan prestasi gemilang. Walaupun hingga kini belum ada yang mampu menorehkan nama harum negara di kancah internasional.
catatan kaki:
Kompas, Jumat, 14 Juli 2006. ‘Keuangan Daerah’
Kompas, 24 Januari 2007. ‘Bantuan APBD untuk Klub Harus Dihentikan’
KOmpas, 30 Januari 2007. ‘APBD untuk Klub Melanggar Aturan’
Sinar Harapan, 31 januari 2007
www.ligaindonesia.com, 13 januari 2006
Jawa pos, 13 Februari 2007
www.suarakarya-online.com/news.html?id=165676, 31 Januari 2007. ‘Stop Dana APBD Untuk Klub Sepakbola!’
penulis:
Thina Ardliana, Mathematics ITS Departement
"Hidup hanya Sekali, Jadikan Berarti!"
Segala Kritik Saran Bisa dialamatkan di thina@matematika.its.ac.id, Maturnuwun….
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi