Gadis itu masih saja meringkuk di sudut ruangan. Dengan baju hitam-hitam yang dikenakannya menambah kesan bahwa dirinya tidak (pernah) dilihat. Tidak pernah dianggap. Tidak lama kemudian, memecah keheningan, gadis itu berceracau dan mendengus, seakan menyimpan geram yang tak tersampaikan. Lelah berada di pinggiran akhirnya gadis itu menuju tengah panggung seraya menggotong kursi lalu sekonyong-konyong ia memecahkan kaca besar yang ada di depannya. Seakan memecah stereotip yang ia bentuk dari citraan tubuhnya sendiri.
Tiara, nama gadis itu, pun mencoba melupakan masalahnya dengan menari. Musik dengan aransemen yang indah mengiringi geraknya. Tiara berputar dan mengalun. Dia merasa menjadi ratu malam itu. Benar saja, karena dia selalu berteriak,” Akulah Tiara, Akulah indah,” Tiara malam itu pun menjadi indah, seindah harmoni warna yang disiramkan pada tubuhnya sendiri.
Sepenggal kisah ironi diatas adalah sebuah cerita yang dibawakan oleh Tiyang Alit pada malam penutupan PIMITS 10 beberapa waktu yang lalu. Setelah lama terhenti, Tiyang Alit mencoba peruntungannya yang baru pada pementasan perdananya di tahun ini. Selama ini Tiyang Alit seperti danau bening yang hadir di tengah padang pasir. Sendirian, ditengah hiruk pikuk rumus-rumus yang beku. Sesungguhnya Tiyang Alit dapat menjadi penyegar jiwa bagi para pencari kearifan.
Sebenarnya Sungguh sangat sulit menjadi orang yang menempuh jalan yang tidak popular. Seperti juga teater; mana mau orang hidup dari teater yang gaji juga ndak tentu. Tetapi saya meyakini satu hal bahwa para penempuh resiko ini memiliki sesuatu yang saat ini sudah jarang orang memilikinya: nilai. Ya, nilai dan moral adalah dua barang langka yang dapat kita temui di zaman yang menurut Ronggowarsito jaman edan.
Mengutip pernyataan Ronggowarsito dalam bukunya yang terkenal, Serat Kalatida; “Betapa pun beruntungnya mereka yang lupa akan nilai-nilai, sungguh masih beruntung mereka yang tetap ingat dan waspada”. Bagi Ronggowarsito menyelamatkan batin dan menyelami watak adalah hal penting sebagai penjaga nilai. Itulah yang dilakukan Tiyang Alit di tengah masyarakat yang rigid.
Pun begitu jangan pernah berharap nantinya teater akan sepopuler sinetron maupun film picisan yang digandrungi muda-mudi dewasa ini. Teater, tentu saja, tidak akan pernah menjadi pop, karena memang terkadang yang benar adalah bukan sesuatu yang pop. Kebenaran dan kearifan tidak harus datang dari tengah dan atas. Bisa jadi dia muncul dari pinggir atau dari bawah. Bukankah kebenaran itu suatu hal yang debatable dalam beberapa hal? Kata seorang teman; bukankah kebenaran itu hanya berada di langit?
***
Saat saya sebut nama Tiyang Alit, saya langsung teringat kisah gadis penjual korek api yang terkenal itu. Gadis miskin kedinginan di sudut kota saat malam bersalju yang mencoba untuk menghadirkan sebuah kehangatan dengan batang korek kecil yang digenggamnya. Batang demi batang, ia genggam di tangannya yang juga rapuh.
Sebuah kutipan yang saya ingat dari novel Bumimanusia karya Pramoedya:
“Kita sudah kalah ma,”
“Belum nak, nyo, kita sudah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”
Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi