ITS News

Jumat, 15 November 2024
09 Maret 2007, 11:03

Melawan Dominasi Media Ala Benny

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dalam sebuah workshop video art yang diadakan siang itu di Student Community Center ITS, Benny Wicaksono didaulat sebagai pembicara. Dengan slide yang telah dia susun, dengan fasihnya Benny mengutip Dziga Vertov hingga Lev Manovich, dia pun berbicara dari lukisan realis abad pertengahan hingga video pop art yang mengandung banyak makna untuk ditafsiri. Baginya, Media adalah sebuah hal yang tidak habis dibahas.

New Media Art, sebuah akar baru dari cara manusia berkesenian inilah yang dijadikan jalan oleh Benny dalam berkarya. Tidak melulu berbicara tentang indah yang selalu saja subjektif, New Media Art adalah sebuah aliran liberal yang mendasarkan penafsiran seni berdiri atas dirinya sendiri. New Media Art adalah entitas baru yang berusaha memadukan teknologi dan seni sebagai sebuah sintesa. Tidak selamanya teknologi itu rigid dan tidak selamanya seni itu berjalan menjauhi teknologi. Kehadiran komputer dan seperangkat alat digital lainnya kini telah menafikan batas itu dan membawa sebuah percepatan evolusi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sebagai seorang seniman video, Benny pun akhirnya bercerita tentang keresahannya. Keresahan akan dominasi media yang membuat banyak akal menjadi kerdil. Media yang dalam banyak hal berhasil menjadi kitab suci baru. Benny ingin memecahkan anggapan itu, dia ingin berteriak bahwa media itu milik semua orang. Sayangnya selama ini Benny berjalan sendiri.
***
Tidak banyak orang sadar, bahwa selama ini media menjadi alat pembebasan pemikiran yang paling sukses tetapi sekaligus menjadi pemasung pemikiran yang paling represif. Tidak sadar karena banyak orang yang telah dininabobokan oleh pencitraan media yang serba wah dan instan. Tidak sadar karena media menyajikan rujukan-rujukan mimpi paling utopis yang pernah ada.

Dalam bahasan post-kolonialisme media disinggung sebagai perpanjangan tangan penjajahan. Dimana yang dijajah bukan lagi raga, tetapi yang lebih penting, pemikiran. Sebuah ghazwul fikri, perang pemikiran. Media, sebagai salah satu entitas penting manusia yang hidup di abad setelah Guttenberg menjadi influence yang luar biasa. Ya, sarapan media di pagi hari hampir bisa disejajarkan dengan pecel lah, bergizi!

Akhirnya post-kolonialisme mengatakan bahwa akibat dari gempuran media dan pencitraan yang hadir setiap detiknya, konsumerisme pun menjadi saluran akhir dari libido citra yang harus segera dipuaskan. Berbondongbondonglah masyarakat menuju hypermarket, lalu meninggalkan pasar tradisonal. Pasar tradisional mati dan orang kecil selalu saja kalah.

Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang terkenal, Sebuah Dunia yang Dilipat, mengatakan salah satunya bahwa konsumerisme hadir karena proses citraan yang saat ini sama sekali sudah jauh dari kesan maya dan menjadi sangat realis. Sehingga banyak orang yang tidak dapat mengelak, citraan yang hadir akhirnya menjadi alat imitasi yang paling kuat. Tentu saja ini semua berkat media yang mampu merealisasikan citraan menjadi sebuah pencitraan yang kuat.
***
Saya pun teringat dengan obrolan dari seorang rekan yang berasal dari Universitas Hasanudin Makassar beberapa waktu yang lalu. Rekan yang terkenal kritis ini mengungkapkan kegeramannya pada media dan mencetuskan ide mengenai gerakan melek media, sebuah gerakan yang mengedukasi massa untuk melakukan proteksi terhadap citraan media. Saya tertegun.

Sama tertegunnya ketika mendengar Benny mengatakan bahwa ia akan terus melawan dominasi media dengan caranya sendiri melalui New Media Art. Saya faham, apa yang dilakukan Benny tidaklah popular, jalan yang hanya ditempuh oleh orang-orang besar yang memiliki tujuan besar. Saya pun akhirnya mengerti mengapa Soedirman menolak jabatan tinggi di ibukota dan tetap bergerilya di malam-malam yang dingin dengan tubuh rapuh yang ditandu.

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS

Berita Terkait